GAMBARAN PENGETAHUAN DAN SIKAP
KELUARGA TENTANG BAHAYA INFEKSI PADA
LUKA POST OPERASI
DI RUANG DAHLIA RUMAH SAKIT UMUM
KABUPATEN SUBANG
PROPOSAL
KARYA TULIS ILMIAH
Diajukan
Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Mencapai
Gelar Ahli Madya Keperawatan D III
Disusun Oleh :
ASEP SUNATA
NIM. 2009.018
PEMERINTAH KABUPATEN SUBANG
AKADEMI
KEPERAWATAN (AKPER)
Jalan
Brigjen Katamso No. 37 Subang
2012
KATA PENGANTAR
Alhamdulilahirobbil
‘alamin, segala Puji dan Syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena
berkat Rahmat dan Karunia-Nya penulis diberikan kesabaran, kesehatan fisik
maupun mental, sehingga penulis dapat menyelesaikan karya tulis ini. Tidak lupa
shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah keharibaan baginda Nabi
Muhammad SAW berserta para sahabatnya. Adapun
karya tulis ini berjudul “ Gambaran
Pengetahuan Dan Sikap Keluarga tentang Bahaya Infeksi Pada Luka Post Operasi di Ruang Dahlia Rumah
Sakit Umum
Kabupaten Subang ’’,
karya tulis ini diajukan untuk memenuhi salah satu syarat untuk menyelesaikan
pendidikan di Akademi Keperawatan Kabupaten Subang.
Dengan segala
keterbatasan karya tulis ini penulis banyak memperoleh bantuan dari berbagai
pihak, atas segala kerelaan hati dan bantuan yang diberikan dalam kesempatan
ini. Perkenankan penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada
yang terhormat :
1.
Ibu
Kholis Nur Handayani, S.Kp., M.Kep., selaku Direktur Akademi Keperawatan Kabupaten
Subang
2.
Drektur Rumah Sakit Umum Daerah Subang, atas wewenangaya
untuk proses penelitian ini
3.
Kepala Ruangan Dahlia, atas ijin penelitian ini di ruang
dahlia Rumah Sakit Umum Daerah Subang
4.
Yayan Heryanto, S.Kep, selaku Pembimbing dalam pembuatan karya tulis ini
yang senantiasa memberikan petunjuk, nasehat, saran yang bermanfat dalam
pembuatan karya tulis ini.
5.
Bapak H. Daryono,
Amk.,S.Pd, selaku Pembimbing Akademik
6.
Ibu
Nunung Nuryani, B.Sc., M.M.Pd., selaku Motivator
7.
Staf
Dosen serta staf Akademik Keperawatan Subang yang memberikan Ilmu Pengetahuan
kepada penulis selama mengikuti pembelajaran di Akademi Keperawatan Kabupaten
Subang.
8.
Buat
Mamah Papah ku yang tercinta, selalu memberikan motivasi dengan penuh ketekunan
dan kesabaran mendo’akan, memberikan dorongan, semangat serta kesempatan untuk
mencari ilmu, ketulusan hatimu dan do’amu sehingga memberikan semangat pada
diriku.
9.
Buat Lismaeni Mahasiswa Tingkat Satu Akademi Kebidanan
Bakti Nugraha yang telah Mendukung secara psikologis
10. Buat semua saudara-saudara ku,
terima kasih atas do’a-do’anya sehingga menjadi penyemangat bagi penulis.
11. Buat semua teman - teman AMPELAS (Angkatan Empat Belas ) terima kasih atas kebersamaan
kita selama ini.
Semoga semua bantuan,
perhatian, dukungan dan do’a dari semua pihak mendapat balasan dari Allah SWT
setimpal dengan kebaikan yang telah diberikan.
Akhirnya penulis
berharap karya tulis ini dapat bermanfat bagi pengembangan ilmu pengetahuan
pada umumnya dan ilmu keperawatan pada khususnya.
Wassalamu ‘alaikum
Wr. Wb.
Subang, April 2012
Penulis
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Luka
adalah keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan (Mansjoer, 2000:396).
Menurut InETNA(Indonesia Enterostomal Therapy Nurse), luka adalah sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu
proses selular normal, luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada
kuntinuitas/kesatuan jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan
substansi jaringan
Komplikasi
dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi yang berbeda-beda. Komplikasi
yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak adekuat, keterlambatan
pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitalisasi dan juga akibat
komplikasi post operatif dan adanya infeksi.
Beberapa
komplikasi yang mungkin terjadi adalah : hematoma, nekrosis jaringan lunak, dehiscence, keloids, formasi hipertropik
scar dan juga infeksi luka (InETNA)(Indonesia
Enterostomal
Therapy Nurse),2004:6).
Luka bedah bisa mengalami stres selama masa penyembuhan. Stres akibat
nutrisi yang tidak adekuat, gangguan sirkulasi, dan perubahan metabolisme akan
meningkatkan resiko stres fisik. Regangan jahitan akibat batuk,
muntah, distensi, dan gerakan bagian tubuh dapat mengganggu lapisan
luka.Perawat harus melindungi luka dan mempercepat penyembuhan. Waktu kritis
penyembuhan luka adalah 24 sampai 72 jam setelah pembedahan. Jika luka
mengalami infeksi, biasanya infeksi terjadi 3 sampai 6 hari setelah pembedahan. (Utama, 2006)
Luka bedah
yang bersih biasanya tidak kuat menghadapi stres normal selama 15 sampai 20
hari setelah pembedahan. Perawat menggunakan teknik aseptik saat mengganti
balutan dan merawat luka. Drain bedah harus tetap paten sehingga akumulasi
sekret dapat keluar dari dasar luka. Observasi luka secara terus-menerus dapat
mengidentifikasi adanya tanda dan gejala awal terjadinya infeksi. Klien lansia
terutama berisiko mengalami infeksi luka pascaoperatif, sehingga perawat
preoperatif menurunkan risiko ini dengan cara memberi lingkungan yang aman dan
asuhan keperawatan yang komprehensif (Potter, 2006)
Infeksi adalah proses invasif oleh mikroorganisme dan
berpoliferasi di dalam tubuh yang menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005).
Dalam Kamus Keperawatan disebutkan bahwa infeksi
adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme dalam jaringan tubuh, khususnya
yang menimbulkan cedera seluler setempat akibat metabolisme kompetitif, toksin,
replikasi intraseluler atau reaksi antigen-antibodi. Munculnya infeksi
dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling berkaitan dalam rantai infeksi.
Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan terjadi.
Menurut Utama 2006, Infeksi adalah adanya suatu
organisme pada jaringan atau cairan tubuh yang disertai suatu gejala klinis
baik lokal maupun sistemik. Infeksi yang muncul selama seseorang tersebut
dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan suatu gejala selama seseorang itu
dirawat atau setelah selesai dirawat disebut infeksi nosokomial. Secara umum,
pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan tanda infeksi yang kurang dari 72
jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit telah terjadi sebelum pasien masuk
rumah sakit, dan infeksi yang baru menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien
berada dirumah sakit baru disebut infeksi nosokomial.
Infeksi nosokomial banyak terjadi
di seluruh dunia dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara yang
sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab
utama. Suatu penelitian yang dilakukan oleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8.7%
dari 55 rumah sakit dari 14 negara di Eropa, Timur tengah, dan Asia Tenggara
dan Pasifik terdapat infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10%
(Utama, 2006).
Seperti yang dilaporkan oleh
Vincent, dkk (1996) penelitian yang dilakukan oleh European Prevalence of
Infection In Intensive Care (EPIC) mendapatkan 20.6% dari 10.038 pasien di
1417 Instalasi Perawatan Intensif di Eropa tahun 1992. Dengan peneumonia
merupakan terbanyak (46.9%), infeksi saluran napas bawah (17.8%), infeksi
traktus urinarius (17.6%), dan infeksi melalui aliran darah (12%).
Mikroorganisme terbanyak yang ditemukan adalah Enterobacteriaceae(34.4%),
Staphylococcus aureus
(30.1%), Pseudomonas aeruginosa (28.7%),Staphylococcus koagulase
negatif (19.1%), dan jamur (17.1%) .
Pada tahun
1992-1997 National Nosocomial
Infection Surveillance System(NNIS) di Amerika Serikat melakukan
penelitian pada 181.993 pasien di Instalasi Perawatan Intensif di beberapa
rumah sakit. Didapatkan bahwa infeksi melalui aliran darah, pneumonia, dan
infeksi traktus urinarius dengan pemasangan peralatan invasif merupakan
kelompok terbanyak dari infeksi nosokomial. Didapatkan yang paling sering
terjadi adalah infeksi traktus urinarius (31%), diikuti oleh pneumonia (27%),
dan infeksi melalui aliran darah (19%). 87% infeksi melalui aliran darah
terkait dengan pemasangan kateter sentral, 86% pneumonia terkait dengan pemasangan
ventilator mekanis, dan 95% infeksi traktus urinarius terkait dengan pemasangan
kateter urin.
Staphylococ
koagulase negatif merupakan mikroorganisme yang paling banyak ditemukan
sebanyak 36%, Enterococcus sebanyak 16%, dan Staphylococcus aureus
sebanyak 13% (Richards, 1999).
Di Indonesia, penelitian yang
dilakukan Suwarni. A (1999) di semua rumah sakit di Yogyakarta tahun 1999
menunjukkan bahwa proporsi kejadian infeksi nosokomial berkisar 0%-12% dengan
rata-rata kseluruhan 4.26%. Untuk rata-rata lama perawatan 4.3-11.2 hari,
dengan rata-rata 6.7 hari. Setelah diteliti lebih lanjut ternyata didapatkan
angka kuman lantai ruang perawatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian infeksi nosokomial (Utama, 2006). Namun, di Indonesia sendiri belum ada
data akurat mengenai tingkat infeksi nosokomial. Pemerintah telah berupaya
untuk mencegah infeksi nosokomial melalui Keputusan Menteri Kesehatan Nomor
270/Menkes/III/2007, namun bagaimana hasil dari kebijakan ini belum ada laporan
yang akurat (Farid, 2007).
Di Indonesia, penelitian yang
dilakukan oleh DepKes pada tahun 2004,
proporsi kejadian infeksi
nosokomial di rumah sakit pemerintah dengan jumlah pasien 1.527 pasien
dari jumlah pasien yang beresiko 160.417 (55,1%), sedangkan untuk rumah sakit
swasta jumlah pasien 991 pasien dari jumlah pasien yang
beresiko 130.407 (35,7 %) untuk rumah
sakit ABRI dengan jumlah pasien 254 pasien dari jumlah pasien beresiko1.672
(9,1%). Phlebitis adalah infeksi yang tertinggi di rumah sakit swasta atau
pemerintah dengan jumlah pasien 2.168 pasien dari jumlah pasien beresiko124.733
(1,7%). (DepKes 2004)
Tabel 1.1
Rumah Sakit Umum Kelas B Daerah
Subang
Laporan Infeksi Nosokomial
No
|
Tahun 2009
|
Tahun 2010
|
Tahun 2011
|
Tahun 2012
|
||||
Diagnosa
|
Los
|
Diagnosa
|
Los
|
Diagnosa
|
Los
|
Diagnosa
|
Los
|
|
1
|
Gangren Diabetic
|
14
|
Gangren Diabetic
|
4
|
IleusParalitik
|
7
|
Epillepsi
|
21
|
2
|
Tetanus
|
4
|
Ileus Obstruksi
|
7
|
Diabet melitus
|
7
|
Ileus Obstruksi
|
5
|
3
|
Gangren Diabetic
|
11
|
Ca. Tulang dan Tulang Rawan
|
18
|
Diabet melitus tergan.insulin
|
8
|
Diabetes Meli tus
|
7
|
4
|
Orchitis
|
18
|
BPH
|
11
|
Anemia defiensi zat besi
|
4
|
Septicaemia Unspecified,
|
1
|
5
|
Uretrolitiasis
|
17
|
Gangren Diabetic
|
21
|
COPD
|
4
|
|
|
6
|
Appendiksitis Akut
|
10
|
Gangren Diabetic
|
15
|
Diabetes tdk tergan insulin
|
5
|
|
|
7
|
Fraktur Tibia
|
17
|
Gangren Diabetic
|
9
|
Partus Seksio Caesaria
|
16
|
|
|
8
|
Gangren Diabetic
|
9
|
Fraktur Calcanus
|
16
|
Cronic Renal Faillure
|
9
|
|
|
9
|
Gangren Diabetic
|
3
|
Fraktur di paha dan panggul
|
18
|
Chest Pain
|
4
|
|
|
10
|
Inflammatory
diseases op prostate
|
7
|
Gangren Diabetic
|
22
|
Diabetes Melitus
|
6
|
|
|
11
|
Ileus Obstruksi
|
14
|
Fraktur di paha dan panggul
|
18
|
Diare / GE / GED / DA
|
17
|
|
|
12
|
Selulitis
|
7
|
|
|
Acute bronchitis
|
1
|
|
|
13
|
BPH
|
8
|
|
|
TBC / KP / TB Paru
|
2
|
|
|
14
|
Uretrolitiasis
|
8
|
|
|
|
|
|
|
15
|
Gangren Diabetic
|
28
|
|
|
|
|
|
|
16
|
HIL
|
14
|
|
|
|
|
|
|
17
|
Selulitis
|
3
|
|
|
|
|
|
|
18
|
BPH
|
19
|
|
|
|
|
|
|
19
|
Obs. Febris Susp
Typhoid
|
7
|
|
|
|
|
|
|
20
|
Diare / GE / GED / DA
|
4
|
|
|
|
|
|
|
21
|
Partus Seksio Caesaria
|
4
|
|
|
|
|
|
|
22
|
Typhoid Fever
|
9
|
|
|
|
|
|
|
23
|
kiste Ovarium
|
23
|
|
|
|
|
|
|
24
|
Tetanus
|
6
|
|
|
|
|
|
|
Sumber: SIM RS Rumah Sakit Umum
Kelas B Daerah Subang
Peran
dan fungsi keluarga sangat penting untuk melindungi anggota keluarganya dari
penyakit yang mungkin terjadi. Perilaku dalam upaya pencegahan infeksi pada
luka post operasi yang kurang dapat menimbulkan komplikasi dini pada luka .
Green L. dalam Notoatmodjo (2003) mengemukakan bahwa salah satu
yang mempengaruhi kesehatan seseorang, keluarga atau masyarakat, yaitu faktor
perilaku (behavior causes).
Green
L. dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan tentang tiga faktor yang mempengaruhi
dan membentuk perilaku seseorang. Faktor pertama yaitu faktor predisposisi (predisposising factor) yang terwujud
dalam pengetahuan, sikap, perilaku, kepercayaan, nilai-nilai dan sebagainya.
Faktor kedua adalah faktor pendukung (enabling
factor) yang meliputi ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasarana kesehatan.
Sedangkan faktor ketiga yaitu faktor pendorong (reinforcing factor) yang meliputi perilaku dan sikap petugas
kesehatan, informasi kesehatan dan lain-lain.
Peran
perawat dalam memberikan pelayanan kesehatan di masyarakat melalui perawatan
kesehatan keluarga yang berfokus pada peningkatan perawatan diri (self care), pendidikan kesehatan, dan
konseling keluarga serta upaya-upaya yang berarti dapat mengurangi risiko yang
diciptakan oleh pola hidup dan bahaya dari lingkungan (Nasution, 2003).
Selanjutnya Kahan & Goodstadt (2001 dalam Palestin, 2007) mengungkapkan
bahwa m embina
hubungan dan bekerja sama dengan keluarga merupakan salah satu pendekatan yang
memiliki pengaruh signifikan pada keberhasilan program pengembangan kesehatan
masyarakat. Riyadi (2003) menamakan perawat kesehatan masyarakat sebagai provider dan masyarakat sebagai consumer pelayanan kesehatan, menjamin
suatu hubungan yang saling mendukung dan mempengaruhi dalam kebijakan dan
pelayanan kearah peningkatan status kesehatan masyarakat.
Sedangkan dalam aspek yang
mempengaruhi sikap keluarga salah satunya adalah tingkat pengetahuan keluarga
yang kurang memahami tentang proses perawatan luka post operasiuntuk mencegah infeksi
akan berpengaruh terhadap proses penyembuhan luka tersebut itu sendiri, untuk itu diperlukan
pendekatan dari berbagai pihak terutama petugas kesehatan di lapangan untuk
memberikan pemahaman yang baik tentang perawatan luka baik melalui penyuluhan
dan pendidikan kesehatan.
Dari fenomena di atas penulis
tertarik untuk mendalami permasalahan ini untuk dikaji lebih lanjut yang
dituangkan dalam bentuk karya tulis ilmiah dengan judul “Gambaran Pengetahuan Dan Sikap Keluarga tentang Bahaya
Infeksi Pada Luka Post Operasi di Ruang Dahlia Rumah Sakit Umum Kabupaten Subang”.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang maka rumusan masalah dalam
penelitian ini adalah kurangnya pengetahuan keluarga tentang bahaya infeksi
luka post operasi. Maka dapat diidentifikasi pertanyaan dalam penelitian ini
yaitu: bagaimana gambaran pengetahuan keluarga
tentang bahaya infeksi luka post operasi di ruang Dahlia Rumah Sakit Umum
Daerah Subang?
C.
Tujuan
Penelitian
1. Tujuan Umum
Untuk mengetahui gambaran pengetahuan dan sikap
keluarga tentang bahaya infeksi luka
post operasi di ruang Dahlia Rumah Sakit Umum Daerah Subang
2.
Tujuan Khusus
a.
Untuk
mengetahui persentasi tingkat pengetahuan
dan sikap keluarga tentang bahaya infeksi
luka post operasi di ruang Dahlia Rumah Sakit Umum Daerah Subang
b.
Untuk
Mengetahui
sikap keluarga tentang Perawatan luka
Post Operasi
c.
Untuk Mengetahui Pengetahuan keluarga
tentang Perawatan pada luka Post
Operasi
D.
Manfaat
Penelitian
1. Manfaat Teoritis.
Menambah pengetahuan tentang bahaya infeksi luka post
operasi
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini
bisa dijadikan acuan bagi tenaga kesehatan tentang kesehatan khususnya
penanganan tanda-tanda bahaya infeksi.
a. Bagi Peneliti
Penelitian
ini sebagai sarana untuk belajar menerapkan teori yang telah diperoleh dalam
bentuk nyata dan meningkatkan daya fikir dalam menganalisa suatu masalah.
b. Bagi Masyarakat
Peningkatan Pengetahuan
tentang bahaya infeksi luka post operasi
c. Bagi Pendidikan
Pengembangan
ilmu perawatan luka post operasi
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A. Pengetahuan
1. Pengertian
Pengetahuan
adalah merupakan hasil dari tahu dan ini terjadi setelah orang melakukan
penginderaan terhadap suatu obyek tertentu yang terjadi melalui kelima indera
manusia, diantaranya indera penglihatan, indera pendengaran, indera penciuman,
indera perasa dan indera peraba. Sebagian besar pengetahuan manusia diperoleh
melalui mata dan telinganya, yakni melalui proses pengalaman dan proses belajar
dalam pendidikan baik bersifat formal maupun informal tindakan yang didasari
oleh pengetahuan akan lebih langgeng dibanding dengan tanpa didasari oleh
pengetahuan (Notoatmodjo, 2003)
Dari
pengertian-pengertian diatas, dapat penulis simpulkan bahwa Pengetahuan yang
lebih menekankan pengamatan dan pengalaman inderawi dikenal sebagai pengetahuan
empiris atau pengetahuan aposteriori.Pengetahuan ini bisa didapatkan dengan
melakukan pengamatan dan observasi yang dilakukan secara empiris dan
rasional.Pengetahuan empiris tersebut juga dapat berkembang menjadi pengetahuan
deskriptif bila seseorang dapat melukiskan dan menggambarkan segala ciri, sifat
dan gejala yang ada pada objek empiris tersebut.Pengetahuan empiris juga bisa
didapatkan melalui pengalaman pribadi yang terjadi berulangkali.
2. Proses
pengetahuan
Menurut
Rogers (1974) dalam Notoatmodjo (2003) mengingatkan bahwa sebelum orang
mengadopsi perilaku baru (berperilaku baru), di dalam diri orang tersebut
terjadi proses yang berurutan, yakni :
a.
Awareness
(kesadaran), dimana orang tersebut menyadari dalam arti mengetahui stimulasi
(objek) terlebih dahulu.
b.
Interest,
yakni mulai tertarik terhadap.
c.
Evaluation (menimbang-nimbang baik dan tidaknya stimulus tersebut
bagi dirinya). Hal ini berarti responden sudah lebih
baik lagi.
d.
Trial, orang lain mulai mencoba perilaku baru
e.
Adaption, dimana subjek telah berperilaku baru sesuai dengan
pengetahuan, kesadaran dan sikapnya terhadap stimulus.
Namun
demikian dari penelitian baru atau adposi perilaku melalui proses seperti ini,
dimana didasari oleh pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka
perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting). Sebaliknya
apabila perilaku itu tidak didasari oleh pengetahuan dan kesadaran akan tidak
berlangsung lama.
3. Tingkat
Pengetahuan
Pengetahuan
atau kognitif merupaka domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan
seseorang. Pengetahuan mempunyai 6 tingkat, yaitu :
a.
Tahu (Know)
Tahu
artinya mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh
bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Kata kerja untuk
mengukur bahwa orang tahu tentang apa yang dipelajari antara lain menyebutkan,
menguraikan, mendefinisikan, menyatakan dan cara sebagainya.
b.
Memahami (Compehension)
Memahami
artinya kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui
dan dapat menginterprestasikan materi tersebut secara benar.Orang yang telah
paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh,
menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang dipelajari.Contoh :
dapat menjelaskan mengapa aborsi sangat membahayakan kesehatan ibu dan anaknya.
c.
Aplikasi (Application)
Merupakan
kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau
kondisi riil (sebenarnya).
d.
Analisis
(Analysis)
Adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau
suatu objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam suatu struktur
organisasi tersebut, dan masih ada kaitannya satu sama lain.
e.
Sintesis
(Synthesis)
Merupakan kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan
bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru.
f.
Evaluasi
(Evaluation)
Artinya kemampuan untuk melakukan justifikasi atau
penilaian terhadap suatu materi atau (Notoatmodjo, 2003).
4. Faktor-Faktor
yang Mempengaruhi Pengetahuan
Pengetahuan yang dimiliki seseorang akan dipengaruhi oleh
beberapa hal.:
a.
Pendidikan
Pendidikan
adalah suatu usaha untuk mengembangkan kepribadian dan kemampuan didalam dan
diluar sekolah dan berlangsung seumur hidup. Pendidikan mempengaruhi proses
belajar, makin tinggi pendidikan seseorang makin mudah orang tersebut untuk menerima
informasi. Dengan pendidikan tinggi maka seseorang cenderung untuk mendapatkan
informasi baik dari orang lain maupun dari media massa. Semakin banyak
informasi semakin pula pengetahuan yang didapat tentang kesehatan. Pengetahuan
sangat erat dengan pendidikan dimana diharapkan seseorang dengan pendidikan
tinggi, maka orang tersebut akan semakin luas pula pengetahuannya. Namun perlu
ditekankan bahawa seseorang yang berpendidikan rendah tidak berarti mutlak
pengetahuannya rendah pula. Peningkatan pengetahuan tidak mutlak diperoleh di
pendidikan formal akan tetapi juag dapat diperoleh pendidikan non formal.
Pengetahuan seseorang tentang suatu objek juga mengandung dua aspek yaitu asepk
positif dan negatif, kedua aspek inilah yang akhirnya menentukan sikap
seseorang terhadap objek tertentu, semakin banyak aspek positif dari obej yang
diketahui akan menimbulkan sikap makin positif terhadap objek tersebut.
b.
Umur
Usia
mempengaruhi daya tangkap dan pola pikir seseorang. Semakin bertambah usia
semakin berkembang pula daya tangkap dan pola pikirnya. Sehingga pengetahuan
yang diperolehnya semakin membaik. Pada usiamadya individu akan berperan aktif
dalam masyarakat dan kehidupan sosial serta lebih banyak melakukan persiapan
demi suksesnya upaya menyesuaikan diri menuju usia tua, selain itu orang usia
madya akan lebih banyak menggunakan waktu untuk membaca. Kemampuan intelektual
pemecahan masalah dan kemampuan verbal dilaporkan hampir tidak ada penurunan
pada usia ini. Dua sikap tradisional mengenai jalannya perkembangan selama
hidup : semakin tua semakin bijaksana, semakin banyak informasi yang dijumpai
dan semakin banyak hal yang dikerjakan sehingga menambah pengetahuannya. Tidak
dapat mengerjakan kepandaian baru kepada orang yang sudah tua karena mengalami
kemunduran baik fisik maupun mental. Dapat diperkirakan bahwa IQ akan menurun
sejalan dengan berkembangnya usia, khususnya pada beberapa kemampuan yang lain
seperti misalnya kosa kata dan pengetahuan umum. Beberapa teori berpendapat
ternayata IQ seseorang akan menurun cukup cepat sejalan dengan bertambahnya
usia.
c.
Media Masa / Informasi
Informasi
yang diperolah baik dari pendidikan formal maupunnonformal dapat memberikan
pengaruh jangka pendek (immediate infact) sehingga menghasilkan
perubahan atau peningkatan pengetahuan. Majunya teknologi akan tersedia
bermacam-macam media massa yang mempengaruhi masyarakat atau remaja tentang
inovasi baru sebagai sarana komunikasi berbagai media massa seperti televisi,
radio, surat kabar, majalah dan lain-lain. Mempunyai pengaruh besar terhadap
pembentukan opini dan kepercayaan orang. Dalam penyampaian informasi sebagai
tugas pokoknya media massa membawa pula pesan-pesan yang berisi sugesti yang
dapat mengalahkan opini seseorang, adanya informasi baru mengenai sesuatu hal
memberikan landasan kognitif bagi terbentuknya pengetahuan terhadap hal
tersebut.
d.
Sosial Budaya dan Ekonomi
Kebiasaan
tradisi yang dilakukan orang-orang tanpa melalui penalaran apakah yang
dilakukan baik atau buruk, dengan demikian seseorang akan bertambah pengetahuannya
walaupun tidak melakukan. Status ekonomi seseorang juga menentukan tersedianya
suatu fasilitas yang diperlukan untuk kegiatan tertentu, sehingga status sosial
ekonomi ini akan mempengaruhi pengetahuan seseorang.
e.
Lingkungan
Lingkungan
adalah segala sesuatu yang ada disekitar individu, baik lingkungan fisik,
bilogis maupun sosial. Lingkungan berpengaruh terhadap proses masuknya
pengetahuan ke dalam individu yang berada dalam lingkungan tersebut. Hal ini
terjadi karena adanya interaksi timbal balik ataupun tidak yang akan direspon
sebagai pengetahuan oleh setiap individu.
f.
Pengalaman
Pengalaman
sebagai sumber pengetahuan adalah suatu cara untuk memperoleh kebenaran
pengetahuan dengan cara mengulang kembali pengetahuan yang diperoleh dalam
memecahkan masalah yang dihadapi masa lalu. Pengalaman belajar dalam bekerja
yang dikembangkan memberikan pengetahuan dan keterampilan profesional serta
pengalaman belajar selama bekerja akan dapat mengembangkan kemampuan mengambil
keputusan yang merupakan manispestasi dari keterpaduan menalar secara ilmiah
dan etik yang bertolak dari masalah nyata dalam bidang kerjanya.
g.
Jenis kelamin
Ciri
biologis-anatomis (khususnya sistem reproduksi dan hormonal), yang diikuti
dengan karakteristik fisiologi tubuh, yang menentukan seseorang adalah
laki-laki atau perempuan. Misalnya karakteristik tubuh perempuan antara lain
dapat mengalami haid, hamil, melahirkan dan menyusui, sedangkan karaktersitik
fisiologi tubuh laki-laki dapat menghasilkan sperma. Ciri biologis ini bersifat
menetap dan tidak dapat diubah.Jender adalah perbedaan peran dan tanggung jawab
sosial bagi perempuan dan laki-laki yang dibentuk oleh budaya (DepkesRI, 2001).
5. Faktor
Pendukung dan Faktor Pendorong Perilaku Manusia
Perilaku
manusia merupakan hasil dari segala macam pengalaman serta interaksi manusia
dengan lingkungannya yang terwujud dalam bentuk pengetahuan, sikap dan
tindakan. Dengan kata lain, perilaku merupakan respon atau reaksi seorang
individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.
Respon ini dapat bersifat pasif (tanpa tindakan: berpikir, berpendapat,
bersikap) maupun aktif (melakukan tindakan) (Notoatmodjo, 2003).
Selanjutnya
Skinner (dalam Notoatmodjo, 2003) menyatakan bahwa bila dilihat dari bentuk
respons terhadap stimulus, maka perilaku dapat dibedakan menjadi 2 yakni
perilaku yang tidak tampak/terselubung (covert behavior) dan perilaku yang
tampak (overt behavior).Perilaku yang
tidak tampak ialah berpikir, tanggapan, sikap, persepsi, emosi, pengetahuan dan
lain-lain. Perilaku yang tampak antara lain berjalan, berbicara, berpakaian dan
sebagainya.
Perilaku
masyarakat yang sehat akan membuat lingkungan sekitarnya menjadi bersih dan
akan memutuskan berbagai rantai penularan penyakit. Sebaliknya, lingkungan akan
tercemar atau menjadi kotor dan tidak sehat apabila masyarakat disekitar
lingkungan tersebut tidak menjaga, memelihara, atau memperhatikan faktor
kesehatan. Menurut Green dalam Notoatmodjo (2003), masalah kesehatan individu
atau masyarakat dipengaruhi oleh 2 faktor yaitu faktor perilaku dan
faktor-faktor di luar perilaku (non perilaku). Selanjutnya faktor perilaku ini
ditentukan oleh 3 kelompok faktor yaitu: faktor-faktor predisposisi, pendukung,
dan pendorong. Faktor predisposisi (predisposing
faktors) mencakup pengetahuan individu, sikap, kepercayaan, tradisi, norma
sosial, dan unsur-unsur lain yang terdapat dalam diri individu dan masyarakat.
Faktor pendukung (enabling faktors)
ialah tersedianya sarana pelayanan kesehatan dan kemudahan untuk mencapainya,
sedangkan faktor pendorong (reinforcing
faktors) adalah sikap dan perilaku petugas kesehatan.Ketiga faktor tersebut
saling terkait dalam menentukan perilaku seseorang.
Jadi,
dari beberapa pengertian tersebut dapat dirumuskan bahwa perilaku kesehatan
merupakan segala bentuk pengalaman dan interaksi individu dengan lingkungannya,
khususnya yang menyangkut pengetahuan dan sikap tentang kesehatan serta
tindakannya yang berhubungan dengan kesehatan, sehingga promosi mempunyai
peranan penting dalam mengubah dan menguatkan perilaku hidup bersih dan sehat
di masyarakat.
6.
Pengukuran
Pengetahuan
Pengukuran pengetahuan dapat dilakukan dengan memberikan
seperangkat alat tes / kuesioner tentang object pengetahuan yang mau di ukur,
selanjutnya dilakukan penilaian setiap jawaban benar dari masing-masing
pertanyaan diberi nilai 1 dan jika salah diberi nilai 0.
Penilaian dilakukan dengan cara membandingkan jumlah skor
yang diharapkan (tertinggi) kemudian dikalikan 100 % dan hasilnya berupa
persentase dengan rumus yang digunakan sebagai berikut
P
= Prosentase
F
= Jumlah jawaban yang benar
N
= Jumlah soal
Selanjutnya prosentase jawaban dalam
kalima udengan acuan sebagai berikut:
Baik : 76 – 100 %
Cukup : 56 – 75 %
Kurang : 40 – 55% (Arikunto, 2006)
B. Sikap
1. Defenisi Sikap
Sikap
adalah kumpulan gejala dalam merespon stimulus atau objek, sehingga sikap itu
melibatkan pikiran, perasaan, perhatian dan gejala kejiwaan yang lain. Fungsi
sikap belum merupakan tindakan (reaksi terbuka) atau aktivitas, akan tetapi
merupakan predisposisi perilaku (tindakan) atau merupakan reaksi tertutup
(Notoatmodjo, 2003).
Pengetahuan
baru yang diperoleh subjek selanjutnya akan menimbulkan respon batin dalam
bentuk sikap terhadap objek yang telah diketahuinya. Menurut Allport (1954) dalam
Notoatmodjo (2003), sikap itu terdiri dari tiga komponen pokok, yaitu:
1. Kepercayaan
atau keyakinan, ide dan konsep terhadap objek. Artinya, bagaimana keyakinan dan
pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
2. Kehidupan
emosional atau evaluasi orang terhadap objek, bagaimana penilaian orang
tersebut terhadap suatu objek.
3. Kecenderungan
untuk bertindak (tend to behave),
artinya sikap adalah merupakan komponen yang mendahului tindakan atau perilaku
terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk bertindak atau berperilaku terbuka
(tindakan).
Kemudian,
Notoatmodjo (2003) menyatakan bahwa sikap terdiri atas berbagai tingkatan,
yaitu:
1.
Menerima(receiving)
Menerima diartikan
dimana orang (subjek) mau dan memperhatikan stimulus yang diberikan (objek).
2.
Merespons (responding)
Merespons
diartikan dimana orang (objek) memberikan tindak balas terhadap stimulus yang
diberikan (objek), seperti menjawab bila ditanya.
3. Menghargai
(valuting)
Mengajak
orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan dengan orang lain terhadap
suatu masalah adalah suatu indikasi sikap tingkat ketiga. Misalnya, seseorang
ibu mengajak ibu lainnya untuk pergi ke posyandu.
4. Bertanggung
jawab (responsible)
Bertanggung
jawab atas segala sesuatu yang telah dipilihnya dengan segala risiko adalah sikap
yang paling tinggi.
2.
Pengukuran Sikap
Pengukuran sikap dapat
dilakukan secara langsung dengan menanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan
responden terhadap suatu objek, diantaranya sebagai berikut:
a. Teknik laporan diri/Inventori
b. Observasi tingkah laku
c. Penafsiran Stimulus berstruktur yang
terpisah-pisah
d. Wawancara
e. Skala Sikap dari Thurstone
f. Skala Sikap dari Likert
3.
Skala
Likert
Skala Likert adalah suatu skala
psikometrik yang umum digunakan dalam kuesioner, dan merupakan skala yang
paling banyak digunakan dalam riset berupa survei. Nama skala ini diambil dari
nama rensis likert, yang menerbitkan suatu laporan yang menjelaskan
penggunaannya. Sewaktu menanggapi pertanyaan dalam skala Likert, responden
menentukan tingkat persetujuan mereka terhadap suatu pernyataan dengan memilih
salah satu dari pilihan yang tersedia. Biasanya disediakan lima pilihan skala
dengan format seperti:
a. Sangat tidak setuju
b.
Tidak
setuju
c.
Netral
d.
Setuju
e.
Sangat
setuju
C.
Konsep
Keluarga
1. Defenisi Keluarga
Menurut
Departemen Kesehatan RI (2002) batasan keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang
terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di
suatu tempat dibawah suatu atap dalam
keadaan saling ketergantungan..
Keluarga adalah kumpulan dua
orang atau lebih yang hidup bersama, dengan keterikatan aturan dan emosional
dari individu yang mempunyai peran yang masing-masing yang merupakan bagian
dari keluarga (Suprajitno, 2004).
Menurut
Salvicion G. Bailon dan Aracelis Maglaya. (dalam Nasrul Effendy, 2003) mengatakan bahwa : “Keluarga adalah dua atau lebih dari dua
individu yang tergabung karena hubungan darah, hubungan perkawinan, atau
pengangkatan dan mereka hidup dalam satu rumah tangga, berinteraksi satu sama
lain, dan di dalam perannya
masing-masing menciptakan serta mempertahankan kebudayaan”.
Berdasarkan
data di atas dapat disimpulkan bahwa keluarga adalah :
a.
Unit terkecil dari masyarakat.
b.
Terdiri dari dua orang atau lebih.
c.
Adanya ikatan perkawinan dan pertalian
darah.
d.
Hidup dalam satu rumah tangga.
e.
Dibawah asuhan seorang kepala rumah
tangga.
f.
Berinteraksi diantara sesama anggota
keluarga.
g.
Setiap anggota keluarga mempunyai peran
masing-masing
h.
Menciptakan dan mempertahankan suatu
kebudayan.
4. Fungsi dan Tugas
Keluarga
Ada
beberapa fungsi yang dapat dijalankan keluarga sebagai berikut :
a.
Fungsi Keluarga
1)
Fungsi Biologis :
a)
Untuk meneruskan keturunan;
b)
Memelihara dan membesarkan anak;
c)
Memenuhi kebutuhan gizi keluarga; dan
d)
Memelihara dan merawat anggota keluarga.
2)
Fungsi Psikologis
a)
Memberikan kasih sayang dan rasa aman;
b)
Memberikan perhatian diantara anggota
keluarga;
c)
Membina kedewasaan kepribadian anggota
keluarga; dan
d)
Memberikan identitas keluarga.
3)
Fungsi Sosialisasi
a)
Membina sosialisasi pada anak;
b)
Membentuk norma-norma tingkah laku
sesuai dengan tingkat perkembangan anak; dan
c)
Meneruskan nilai-nilai budaya keluarga
4) Fungsi Ekonomi
a)
Mencari sumber-sumber penghasilan untuk
memenuhi kebutuhan keluarga;
b)
Pengaturan penggunaan penghasilan
keluarga untuk memenuhi kebutuhan keluarga; dan
c)
Menabung untuk memenuhi kebutuhan - kebutuhan keluarga dimasa yang akan datang, misal nya
pendidikan
anak-anak, jaminan hari tua, dan sebagainya.
5)
Fungsi Pendidikan
a)
Menyekolahkan anak untuk memberikan
pengetahuan, keterampilan dan membentuk perilaku anak sesuai dengan bakat dan
minat yang dimilikinya;
b)
Mempersiapkan anak untuk kehidupan
dewasa yang akan datang dalam memenuhi peranannya sebagai orang dewasa; dan
c)
Mendidik anak sesuai dengan
tingkat-tingkat perkembangannya.
b.
Tugas Keluarga
Menurut
Nasrul Effendi (2003) tugas pokok dari keluarga adalah sebagai berikut :
1)
Pemeliharaan fisik keluarga
2)
Pemeliharaan sumber-sumber daya yang ada
dalam keluarga
3)
Pembagian tugas masing-masing anggotanya
sesuai dengan kedudukannya masing-masing
4)
Sosialisasi antar anggota keluarga
5)
Pengaturan jumlah anggota keluarga
6)
Pemeliharaan ketertiban anggota keluarga
7)
Penempatan anggota-anggota keluarga
dalam anggota masyarakat yang lebih luas
8)
Membangkitkan dorongan dan semangat para
anggota keluarga.
5. Kekuatan Keluarga Dalam Meningkatkan Kesejahteraan
Anak
Pada dasarnya tugas dan fungsi keluarga adalah merawat fisik
anak, mendidik anak untuk menyesuaikan diri dengan budaya, dan menerima
tanggung jawab atas kesejahteraan anak baik secara fisik maupun psikologis.
Tugas dan fungsi ini untuk keluarga untuk menjalankan baik dalam kondisi
anak-anak sehari-hari di rumah ataupun apabila anak sakit dan dirawat di rumah
sakit.
a.
Komitmen yang kuat untuk kesejahteraan anggota keluarga
Kesepakatan antara orang tua
dan anggota keluarga yang ada bahwa upaya untuk meningkatkan kesejahteraan anak
adalah prioritas dalam keluarga, menjadi satu hal yang sangat penting baik
menyangkut kesejahteraan fisik maupun psikologisnya. Hal ini dapat
ditunjukkandengan prilaku keluarga diantaranya penggunaan keuangan dan sumber
lain yang ada dalam keluarga di tunjukkan untuk kepentingan anak.
b.
Penghargaan dan dorongan terhadap anggota keluarga
Penghargaan dapat diberikan
dalam bentuk materi dan bukan materi, penghargaan dalam bentuk materi dapat
berupa hadiah mainan, pakaian, rekreasi dan alat sekolah sedangkan penghargaan
bukan bentuk non materi dapat berupa pujian.
c.
Upaya untuk meluangkan waktu bersama
Komitmen keluarga untuk
berupaya meluangkan waktu bersama merupakan hal yang paling penting sebagai
media untuk saling tukar pikiran antara orang tua anak yang satu dengan anak
yang lainnya.
d.
Komunikasi dan interaksi positif antar anggota keluarga
Komunikasi yang terbuka antara
orang tua dan anak sebaliknya merupakan hal yang positif untuk mendukung
peningkatan kesejahteraan anak dan keluarga.
e.
Kejelasan aturan, nilai dan keyakinan
Penanaman nilai dan kenyakinan
serta aturan disiplin bagi anak harus ditanamkan sejak dini sejalan dengan
perkembangan kognitif anak dan dilaksanakan secara terus- menerus secara
konsisten.
f.
Strategi koping yang positif
Kemampuan koping yang positif
harus dilatih dan dibiasakan pada anggota keluarga, yaitu kemampuan strategis
kearah pemecahan masalah dan bukan menggunakan strategi koping yang negatif
seperti mengingkari,marah dan menyalahkan orang lain.
g.
Kemampuan memecahkan masalah secara positif
Hal ini berkaitan dengan pola
penggunaan strategi koping yng positif karena pada dasarnya kemampuan keluarga
dalam memecahkan masalah secara positif menunjukkan kemampuan menggunakan
strategi koping yang positif.
h.
Berpikir positif terhadap segala prilaku anggota keluarga
Prilaku anak sering kali
menguji kesabaran oran tua, apabila mereka berperilaku negatif,sebenarnya
karena mereka belum mempunyai kemampuan untuk melukukannya,karena pada dasarnya
masih dalam proses pertumbuhan dan perkembangan, jadi orang tua harus berperan
mengarahkannya.
i.
Fleksibel dan mudah beradaptasi dalam mengarahkan peran
Kemampuan untuk beradaptasi
dan fleksibel terhadap situasi yang dihadapi dalam menjalankan kehidupan
sehari-hari memerlukan latihan dan tidak akan diperoleh secara otomatis,
keyakinan tentang nilai yang dimiliki dan pengalaman menghadapi masalah juga
akan mempengaruhi anggota keluarga untuk bersikap fleksibel dan beradaptasi
dengan mudah terhadap perubahan atau situasi yang dihadapi.
j.
Keseimbangan antara kepentingan pekerjaan dan kepentingan anggota
keluarga
Pekerjaan anggota keluarga
adalah suatu sumber penghasilan bagi anggota keluarga yang dapat memenuhi
kebutuhan fisik, psikologi, spiritual keluarga.Ini merupakan satu tantangan
anggota keluarga untuk menyikapi secara bijaksana karena keseimbangan antara
pekerjaan dan waktu untuk keluarga adalah hal utama yang harus di penuhi.
D.
Konsep Luka dan
Keperawatan Luka
1.
Pengertian
Luka adalah
keadaan hilang/terputusnya kontinuitas jaringan (Mansjoer, 2000:396). Menurut
InETNA, luka adalah sebuah injuri pada jaringan yang mengganggu proses selular
normal, luka dapat juga dijabarkan dengan adanya kerusakan pada
kuntinuitas/kesatuan jaringan tubuh yang biasanya disertai dengan kehilangan
substansi jaringan.
2.
Klasifikasi
Luka
Luka
dibedakan berdasarkan :
a.
Berdasarkan penyebab
1) Ekskoriasi
atau luka lecet
2) Vulnus
scisum atau luka sayat
3) Vulnus
laseratum atau luka robek
4) Vulnus
punctum atau luka tusuk
5) Vulnus morsum atau luka karena gigitan binatang
6) Vulnus
combotio atau luka bakar
b.
Berdasarkan ada/tidaknya kehilangan
jaringan
1)
Ekskoriasi
2)
Skin avulsion
3)
Skin loss
c.
Berdasarkan derajat
kontaminasi
1)
Luka bersih
a)
Luka sayat elektif
b)
Steril, potensial terinfeksi
c)
Tidak
ada kontak dengan orofaring, traktus respiratorius,traktus elimentarius,
traktus genitourinarius.
2)
Luka bersih tercemar
a)
Luka sayat elektif
b)
Potensi terinfeksi : spillage minimal,
flora normal
c)
Kontak dengan orofaring, respiratorius,
elimentarius dan genitourinarius
d)
Proses penyembuhan lebih lama
3)
Luka tercemar
a)
Potensi terinfeksi: spillage dari
traktus elimentarius, kandung empedu, traktus genito urinarius, urine
b)
Luka
trauma baru : laserasi, fraktur terbuka, luka penetrasi.
4)
Luka kotor
a)
Akibat
proses pembedahan yang sangat terkontaminasi
b)
Perforasi visera, abses, trauma lama.
3.
Tipe
Penyembuhan luka
Terdapat 3 macam tipe
penyembuhan luka, dimana pembagian ini dikarakteristikkan dengan jumlah
jaringan yang hilang.
a. Primary Intention Healing
(penyembuhan luka primer) yaitu penyembuhan yang terjadi segera setelah
diusahakan bertautnya tepi luka biasanya dengan jahitan.
b. Secondary Intention Healing (penyembuhan
luka sekunder) yaitu luka yang tidak mengalami penyembuhan primer. Tipe ini dikarakteristikkan oleh adanya luka yang luas
dan hilangnya jaringan dalam jumlah besar. Proses penyembuhan terjadi lebih
kompleks dan lebih lama. Luka jenis ini biasanya tetap terbuka.
c. Tertiary Intention Healing (penyembuhan
luka tertier) yaitu luka yang dibiarkan terbuka selama beberapa hari setelah
tindakan debridement. Setelah diyakini bersih, tepi luka dipertautkan (4-7
hari). Luka ini merupakan tipe penyembuhan luka yang terakhir
(Mansjoer,2000:397 ; InETNA, 2004:4).
6. Fase Penyembuhan Luka
Proses penyembuhan luka memiliki 3 fase yaitu fase
inflamasi, proliferasi dan maturasi. Antara satu fase dengan fase yang lain
merupakan suatu kesinambungan yang tidak dapat dipisahkan.
a. Fase
Inflamasi
Tahap
ini muncul segera setelah injuri dan dapat berlanjut sampai 5 hari. Inflamasi
berfungsi untuk mengontrol perdarahan, mencegah invasi bakteri, menghilangkan
debris dari jaringan yang luka dan mempersiapkan proses penyembuhan lanjutan.
b.
Fase Proliferasi
Tahap ini berlangsung dari hari ke 6 sampai dengan 3
minggu. Fibroblast (sel jaringan penyambung) memiliki peran yang besar dalam
fase proliferasi.
c. Fase
Maturasi
Tahap
ini berlangsung mulai pada hari ke 21 dan dapat berlangsung sampai
berbulan-bulan dan berakhir bila tanda radang sudah hilang. Dalam fase ini
terdapat remodeling luka yang merupakan hasil dari peningkatan jaringan
kolagen, pemecahan kolagen yang berlebih dan regresi vaskularitas luka
(Mansjoer,2000:397 ; InETNA, 2004:1).
7.
Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Penyembuhan Luka
Penyembuhan
luka merupakan suatu proses yang kompleks dan dinamis karena merupakan suatu
kegiatan bioseluler dan biokimia yang terjadi saling berkesinambungan. Proses penyembuhan luka tidak hanya terbatas pada proses
regenerasi yang bersifat lokal saja pada luka, namun dipengaruhi pula oleh
faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik (InETNA,2004:13).
a. Faktor Instrinsik adalah faktor dari penderita yang dapat
berpengaruh dalam proses penyembuhan meliputi : usia, status nutrisi dan
hidrasi, oksigenasi dan perfusi jaringan, status imunologi, dan penyakit
penyerta (hipertensi, DM, Arthereosclerosis).
b.
Faktor
Ekstrinsik adalah faktor yang didapat dari luar penderita yang dapat
berpengaruh dalam proses penyembuhan luka, meliputi : pengobatan, radiasi,
stres psikologis, infeksi, iskemia dan trauma jaringan (InETNA,2004:13).
8.
Komplikasi
Penyembuhan Luka
Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi
yang berbeda-beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak
adekuat, keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya
reepitalisasi dan juga akibat komplikasi post operatif dan adanya infeksi.
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
hematoma, nekrosis jaringan lunak, dehiscence,
keloids, formasi hipertropik scar dan juga infeksi luka (InETNA,2004:6).
a.
Komplikasi dini
1)
Infeksi
Invasi bakteri pada luka dapat terjadi pada saat
trauma, selama pembedahan atau setelah pembedahan.Gejala dari infeksi sering
muncul dalam 2 – 7 hari setelah pembedahan.Gejalanya berupa infeksi termasuk
adanya purulent, peningkatan drainase, nyeri, kemerahan dan bengkak di
sekeliling luka, peningkatan suhu, dan peningkatan jumlah sel darah putih.
2)
Perdarahan
Perdarahan dapat menunjukkan suatu pelepasan jahitan,
sulit membeku pada garis jahitan, infeksi, atau erosi dari pembuluh darah oleh
benda asing (seperti drain).Hipovolemia mungkin tidak cepat ada tanda. Sehingga
balutan (dan luka di bawah balutan) jika mungkin harus sering dilihat selama 48
jam pertama setelah pembedahan dan tiap 8 jam setelah itu. Jika perdarahan
berlebihan terjadi, penambahan tekanan balutan luka steril mungkin
diperlukan.Pemberian cairan dan intervensi pembedahan mungkin diperlukan.
3)
Dehiscence dan
Eviscerasi
Dehiscence dan eviscerasi adalah komplikasi operasi
yang paling serius.Dehiscence adalah terbukanya lapisan luka partial atau
total.Eviscerasi adalah keluarnya pembuluh melalui daerah irisan. Sejumlah
faktor meliputi, kegemukan, kurang nutrisi, ,multiple trauma, gagal untuk
menyatu, batuk yang berlebihan, muntah, dan dehidrasi, mempertinggi resiko
klien mengalami dehiscence luka. Dehiscence luka dapat terjadi 4 – 5 hari
setelah operasi sebelum kolagen meluas di daerah luka.Ketika dehiscence dan
eviscerasi terjadi luka harus segera ditutup dengan balutan steril yang lebar,
kompres dengan normal saline.Klien disiapkan untuk segera dilakukan perbaikan
pada daerah luka.
b.
Komplikasi
Lanjut
Keloid dan jaringan parut hipertrofik timbul karena
reaksi serat kolagen yang berlebihan dalam proses penyembuhan luka. Serat
kolagen disini teranyam teratur.Keloid yang tumbuh berlebihan melampaui batas
luka, sebelumnya menimbulkan gatal dan cenderung kambuh bila dilakukan
intervensi bedah.
Parut hipertrofik hanya berupa parut luka yang
menonjol, nodular, dankemerahan, yang menimbulkan rasa gatal dan kadang –
kadang nyeri. Parut hipertrofik akan menyusut pada fase akhir penyembuhan luka
setelah sekitar satu tahun, sedangkan keloid tidak.
Keloid dapat ditemukan di seluruh permukaan
tubuh.Tempat predileksi merupakan kulit, toraks terutama di muka sternum,
pinggang, daerah rahang bawah, leher, wajah, telinga, dan dahi.Keloid agak
jarang dilihat di bagian sentral wajah pada mata, cuping hidung, atau mulut.
Pengobatan keloid pada umumnya tidak
memuaskan.Biasanya dilakukan penyuntikan kortikosteroid intrakeloid, beban
tekan, radiasi ringan dan salep madekasol (2 kali sehari selama 3-6 bulan).
Untuk mencegah terjadinya keloid, sebaiknya pembedahan dilakukan secara halus,
diberikan beban tekan dan dihindari kemungkinan timbulnya komplikasi pada
proses penyembuhan luka. (Yusuf, 2009)
9. Penatalaksanaan/Perawatan Luka
Luka bedah bisa mengalami stres selama masa
penyembuhan. Stres akibat nutrisi yang tidak adekuat, gangguan sirkulasi, dan
perubahan metabolisme akan meningkatkan risiko stres fisik. Regangan jahitan
akibat batuk, muntah, distensi, dan gerakan bagian tubuh dapat mengganggu
lapisan luka.Perawat harus melindungi luka dan mempercepat penyembuhan. Waktu
kritis penyembuhan luka adalah 24 sampai 72 jam setelah pembedahan. Jika luka
mengalami infeksi, biasanya infeksi terjadi 3 sampai 6 hari setelah
pembedahan.Luka bedah yang bersih biasanya tidak kuat menghadapi stres normal
selama 15 sampai 20 hari setelah pembedahan.Perawat menggunakan teknik aseptik
saat mengganti balutan dan merawat luka. Drain bedah harus tetap paten sehingga
akumulasi sekret dapat keluar dari dasar luka. Observasi luka secara
terus-menerus dapat mengidentifikasi adanya tanda dan gejala awal terjadinya
infeksi. Klien lansia terutama berisiko mengalami infeksi luka pascaoperatif,
sehingga perawat preoperatif menurunkan risiko ini dengan cara memberi
lingkungan yang aman dan asuhan keperawatan yang komprehensif (Potter, 2006)
Dalam manajemen
perawatan luka ada beberapa tahap yang dilakukan yaitu evaluasi luka, tindakan
antiseptik, pembersihan luka, penjahitan luka, penutupan luka, pembalutan,
pemberian antiboitik dan pengangkatan jahitan.
a. Evaluasi
luka meliputi anamnesis dan pemeriksaan fisik (lokasi dan eksplorasi).
1)
Kondisi
Stabil
Jika kondisi klien stabil (misalnya setelah operasi atau tindakan) perawat
mengkaji luka untuk menentukan kemajuan penyembuhan luka yang dialami oleh
klien.Jika luka tertutup balutan dan dokter belum meminta untuk menggantinya,
perawat tidak boleh menginspeksi luka secara langsung kecuali jika perawat
mencurigai adanya komplikasi serius pada luka. Pada situasi seperti itu perawat
hanya menginspeksi balutan dan semua drain eksternal. Jika dokter memutuskan
untuk mengganti balutan, dokter akan mengkaji luka minimal 1 kali sehari. Saat
sedang mengganti balutan, perawat menghindarkan terbuang atau terangkatnya dari
yang ada di bawahnya.Karena penggantian balutan dapat menimbulkan nyeri,
pemberian analgesik 30 menit sebelum melakukan tindakan dapat membantu
mengurangi nyeri klien.
2)
Penampakan luka
:
Perawat mencatat apakah tepi luka telah menutup.Insisi bedah harus memiliki
tepi insisi yang bersih dan saling berdekatan.Sepanjang pinggir luak seringkali
terbentuk kerak yang berada dari eksudat.Luka tusuk biasanya berupa luka kecil
yang nelingakr dengan tepi luka menyatu ke arah tengah.Jika terbuka, tetapi
luka terpisah dan perawat harus menginspeksi kondisi jaringan adiposa dan
jaringan penyambung yang berada di bawah luka.Perawat juga melihat adanya
komplikasi seperti dehisens dan eviserasi. Tepi luka bagian luar secara normal
terlihat mengalami inflamasi pada hari ke-2 sampai hari ke-3, tetapi lama
kelamanan inflamasi ini akan menghilang. Dalam waktu 7-10 hari, luka dengan
penyembuhan normal akan terisi sel epitel dan bagian pinggirnya akan menutup.
Apabila terjadi infeksi, tepi luka akan terlihat bengkak dan meradang.
Perubahan warna kulit terjadi akibat memarnya jaringan intestisial atau
terbentuknya hematom. Pada awalnya darah yang berkumpul di antara lapisan kulit
akan terlihat berwarna kebiruan atau keunguan. Perlahan-lahan, bersamaan dengan
hancurnya bekuan darah pada kulit, akan mencul warna coklat atau kuning.
(Potter, 2006)
b.
Tindakan Antiseptik, prinsipnya untuk
mensucihamakankulit.
Untuk melakukan
pencucian/pembersihan luka biasanya digunakan cairan atau larutan antiseptik
seperti:
1)
Alkohol,
sifatnya bakterisida kuat dan cepat (efektif dalam 2 menit).
2)
Halogen
dan senyawanya
a)
Yodium,
merupakan antiseptik yang sangat kuat, berspektrum luas dan dalam
konsentrasi 2% membunuh spora dalam 2-3 jam
b)
Povidon Yodium(Betadine, septadine dan isodine), merupakan kompleks yodium dengan polyvinylpirrolidone yang tidak
merangsang, mudah dicuci karena larut dalam air dan stabil karena tidak
menguap.
c)
Yodoform,
sudah jarang digunakan. Penggunaan biasanya untuk antiseptik borok.
d)
Klorhesidin (Hibiscrub, savlon, hibitane), merupakan senyawa biguanid dengan sifat
bakterisid dan fungisid, tidak berwarna, mudah larut dalam air, tidak merangsang
kulit dam mukosa, dan baunya tidak menusuk hidung
3)
Oksidansia
a)
Kalium
permanganat, bersifat bakterisid dan funngisida agak lemah berdasarkan sifat
oksidator.
b)
Perhidrol
(Peroksida air, H2O2), berkhasiat untuk mengeluarkan kotoran dari dalam luka
dan membunuh kuman anaerob.
4)
Logam berat dan garamnya
a)
Merkuri klorida (sublimat), berkhasiat
menghambat pertumbuhan bakteri dan jamur.
b)
Merkurokrom
(obat merah)dalam larutan 5-10%. Sifatnya bakteriostatik lemah, mempercepat
keringnya luka dengan cara merangsang timbulnya kerak (korts)
5)
Asam
borat, sebagai bakteriostatik lemah (konsentrasi 3%).
6)
Derivat fenol
a)
Trinitrofenol (asam pikrat), kegunaannya
sebagai antiseptik wajah dan genitalia eksterna sebelum operasi dan luka bakar.
b)
Heksaklorofan (pHisohex), berkhasiat untuk
mencuci tangan.
7) Basa ammonium kuartener, disebut juga etakridin
(rivanol), merupakan turunan aridin dan berupa serbuk berwarna kuning dam
konsentrasi 0,1%. Kegunaannya sebagai antiseptik borok bernanah, kompres dan
irigasi luka terinfeksi (Mansjoer, 2000:390).
Kecepatan penyembuhan luka tergantung dari steril
permukaan kulit selama proses pembersihan luka sebelum pembalutan dan kecepatan
membunuh mikroorganisme pada pemberian teknik antiseptik. Saifuddin (2005)
selama sekurang-kurangnya 20 menit untuk instrumen tidak terbungkus, 30 menit
untuk instrumen terbungkus.
Dengan demikian berdasarkan uraian di atas
betadine-alkohol yang paling efektif, karena kecepatan membunuh bakteri
membutuhkan waktu 10-20 menit untuk betadine, 10-15 menit untuk alkohol. Sedangkan
betadine-savlon memerlukan waktu membunuh kuman 10-20 menit untuk betadine,
20-30 menit untuk savlon.Jadi dapat ditarik kesimpulan bahwa betadine-alkohol
memerlukan waktu rentang membunuh bakteri 10-20 menit, sedangkan
betadine-savlon 10-30 menit sebelum pembalutan.Luka dalam kondisi pembalutan
sudah dinyatakan steril, karena sesuai dengan tujuan pembalutan yaitu salah
satunya melindungi luka dari kontaminasi mikroorganisme.
Dalam
proses pencucian/pembersihan luka yang perlu diperhatikan adalah pemilihan
cairan pencuci dan teknik pencucian luka. Penggunaan cairan pencuci yang tidak
tepat akan menghambat pertumbuhan jaringan sehingga memperlama waktu rawat dan
meningkatkan biaya perawatan. Pemelihan cairan dalam pencucian luka harus
cairan yang efektif dan aman terhadap luka. Selain larutan antiseptik yang
telah dijelaskan diatas ada cairan pencuci luka lain yang saat ini sering
digunakan yaitu Normal Saline. Normal saline atau disebut juga NaCl 0,9%.
Cairan ini merupakan cairan yang bersifat fisiologis, non toksik dan tidak
mahal. NaCl dalam setiap liternya mempunyai komposisi natrium klorida 9,0 g
dengan osmolaritas 308 mOsm/l setara dengan ion-ion Na+ 154 mEq/l
dan Cl- 154 mEq/l (InETNA,2004:16 ; ISO Indonesia,2000:18)
c. Pembersihan
Luka
Tujuan
dilakukannya pembersihan luka adalah meningkatkan, memperbaiki dan mempercepat
proses penyembuhan luka; menghindari terjadinya infeksi; membuang jaringan
nekrosis dan debris (InETNA, 2004:16).
(AHCPR, 1994) Proses pembersihan luka terdiri dari
memilih cairan yang tepat untuk membersihkan luka dan menggunakan cara-cara
mekanik yang tepat untuk memasukkan cairan tersebut tanpa menimbulkan cedera
pada jaringan luka. Pertama-tama mencuci luka dengan air yang mengalir,
membersihkan dengan sabun yang lembut dan air, serta dapat memberikan
antiseptik yang dibeli di luar apotik (Potter, 2006).
Beberapa
langkah yang harus diperhatikan dalam pembersihan luka yaitu :
1)
Irigasi
dengan sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk membuang jaringan mati dan benda
asing.
2)
Hilangkan semua benda asing dan eksisi
semua jaringan mati.
3)
Berikan antiseptic
4)
Bila
diperlukan tindakan ini dapat dilakukan dengan pemberian anastesi lokal
5)
Bila
perlu lakukan penutupan luka (Mansjoer,2000: 398;400)
d. Penjahitan luka
Luka
bersih dan diyakini tidak mengalami infeksi serta berumur kurang dari 8 jam
boleh dijahit primer, sedangkan luka yang terkontaminasi berat dan atau tidak
berbatas tegas sebaiknya dibiarkan sembuh per sekundam atau per tertiam.
e. Penutupan
Luka
Adalah
mengupayakan kondisi lingkungan yang baik pada luka sehingga proses penyembuhan
berlangsung optimal.
f. Pembalutan
Menggunakan balutan yang tepat perlu disertai
pemahaman tentang penyembuhan luka.Apabila balutan tidak sesuai dengan
karakteristik luka, maka balutan tersebut dapat mengganggu penyembuhan Luka
(Erwin-Toth dan Hocevar, 1995; Krasner, 1995; Motta, 1995).Balutan juga harus
dapat menyerap dirainase untuk mencegah terkumpulnya eksudat yang dapat
meningkatkan pertumbuhan bakteri dan maserasi di sekeliling kulit akibat
eksudat luka (Potter, 2006).
Pertimbangan dalam menutup dan membalut luka sangat
tergantung pada penilaian kondisi luka. Pembalutan berfungsi sebagai pelindung
terhadap penguapan, infeksi, mengupayakan lingkungan yang baik bagi luka dalam
proses penyembuhan, sebagai fiksasi dan efek penekanan yang mencegah
berkumpulnya rembesan darah yang menyebabkan hematom.
1)
Tujuan
pembalutan
a)
Melindungi luka
dari kontaminasi mikroorganisme.
b)
Membantu
hemostasis.
c)
Mempercepat
penyembuhan dengan cara menyerap drainase dan untuk melakukan debredemen luka.
d)
Menyangga atau
mengencangkan tepi luka.
e)
Melindungi klien
agar tidak melihat keadaan luka (bila luka terlihat tidak menyenangkan).
f)
Meningkatkan
isolasi suhu pada permukaan luka.
g)
Mempertahankan
kelembaban yang tinggi diantara luka dengan balutan.(Potter, 2006).
2)
Jenis-jenis
balutan
Balutan terdiri dari berbagai jenis bahan dan cara
pemakaiannya (basah dan kering). Balutan harus dapat digunakan dengan mudah,
nyaman, dan terbuat dari bahan yang mempercepat penyembuhan luka.Pedoman klinik
dari ACHPR (1994) dapat membantu memilih jenis balutan yang sesuai dengan
tujuan perawatan luka (Potter, 2006).
Rekomendasi Balutan dari AHCPR 1994 :
a)
Gunakan balutan
yang dapat menjaga dasar luka tepat lembab. Balutan basa-kering hanya boleh
digunakan untuk debridemen dana jangan menggunakan balutan yang dilembabkan
oleh salin secara terus-menerus.
b)
Gunakan
penilaian klinik untuk memilih jenis balutan luka lembab yang sesuai untuk
ulkus.Penelitian terhadap beberapa jenis balutan luka lembab menunjukkan bahwa
tidak ada perbedaan hasil akibat penyembuhan dekubitus.
c)
Pilih balutan
yang menjaga permukaan kulit yang utuh (periulkus) di sekitarnya tetap kering
sambil menjaga dasar luka tetap lembab.
d)
Pilih balutan
yang dapat mengontrol eksudat tetapi tidak menyebabkan desikasi dasar luka.
e)
Saat memilih
jenis balutan, pertimbangkan waktu yang dimiliki oleh pemberian perawatan.
f)
Hilangkan daerah
luka yang mati dengan cara mengisi seluruh rongga dengan bahan balutan.
Hindarkan pembalutan yang berlebihan.
g)
Monitor balutan
yang terdapat di dekat anus, karena keutuhan balutan sulit dijaga.(Potter,
2006)
g. Pemberian Antibiotik
Prinsipnya
pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka terkontaminasi
atau kotor maka perlu diberikan antibiotik.
h. Pengangkatan
Jahitan
Jahitan
diangkat bila fungsinya sudah tidak diperlukan lagi. Waktu pengangkatan jahitan
tergantung dari berbagai faktor seperti, lokasi, jenis pengangkatan luka, usia,
kesehatan, sikap penderita dan adanya infeksi (Mansjoer,2000:398 ; Walton,
1990:44).
Tabel
1. 2
Waktu Pengangkatan Jahitan
No
|
Lokasi
|
Waktu
|
1
|
Kelopak mata
|
3 hari
|
2
|
Pipi
|
3-5 hari
|
3
|
Hidung, dahi, leher
|
5 hari
|
4
|
Telinga,kulit kepala
|
5-7 hari
|
5
|
Lengan, tungkai,
tangan,kaki
|
7-10+ hari
|
6
|
Dada, punggung,
abdomen
|
7-10+ hari
|
Sumber. Walton, 1990:44
E.
Konsep Infeksi
1. Pengertian
Infeksi adalah
proses invasif oleh mikroorganisme dan berpoliferasi di dalam tubuh yang
menyebabkan sakit (Potter & Perry, 2005).
Dalam Kamus
Keperawatan disebutkan bahwa infeksi adalah invasi dan multiplikasi mikroorganisme
dalam jaringan tubuh, khususnya yang menimbulkan cedera seluler setempat akibat
metabolisme kompetitif, toksin, replikasi intraseluler atau reaksi
antigen-antibodi.Munculnya infeksi dipengaruhi oleh beberapa faktor yang saling
berkaitan dalam rantai infeksi. Adanya patogen tidak berarti bahwa infeksi akan
terjadi.
Menurut Utama
2006, Infeksi adalah adanya suatu organisme pada jaringan atau cairan tubuh
yang disertai suatu gejala klinis baik lokal maupun sistemik.Infeksi yang
muncul selama seseorang tersebut dirawat di rumah sakit dan mulai menunjukkan
suatu gejala selama seseorang itu dirawat atau setelah selesai dirawat disebut
infeksi nosokomial. Secara umum, pasien yang masuk rumah sakit dan menunjukkan
tanda infeksi yang kurang dari 72 jam menunjukkan bahwa masa inkubasi penyakit
telah terjadi sebelum pasien masuk rumah sakit, dan infeksi yang baru
menunjukkan gejala setelah 72 jam pasien berada dirumah sakit baru disebut
infeksi nosokomial.
Infeksi
nosokomial ini dapat berasal dari dalam tubuh penderita maupun luar
tubuh.Infeksi endogen disebabkan oleh mikroorganisme yang semula memang sudah
ada didalam tubuh dan berpindah ke tempat baru yang kita sebut dengan self
infection atau auto infection, sementara infeksi eksogen (cross infection)
disebabkan oleh mikroorganisme yang berasal dari rumah sakit dan dari satu
pasien ke pasien lainnya. (Yudhityarasati, 2007).
2.
Tanda tanda infeksi
a.
Calor (panas)
Daerah peradangan pada kulit menjadi lebih panas dari
sekelilingnya, sebab terdapat lebih banyak darah yang disalurkan ke area
terkena infeksi/ fenomena panas lokal karena jaringan-jaringan tersebut sudah
mempunyai suhu inti dan hiperemia lokal tidak menimbulkan perubahan.
b.
Dolor (rasa
sakit)
Dolor dapat ditimbulkan oleh perubahan PH lokal atau
konsentrasi lokal ion-ion tertentu dapat merangsang ujung saraf.pengeluaran zat
kimia tertentu seperti histamin atau zat kimia bioaktif lainnya dapat
merangsang saraf nyeri, selain itu pembengkakan jaringan yang meradang
mengakibatkan peningkatan tekanan lokal dan menimbulkan rasa sakit.
c.
Rubor
(Kemerahan)
Merupakan hal pertama yang terlihat didaerah yang mengalami
peradangan.Waktu reaksi peradangan mulai timbul maka arteriol yang mensuplai
daerah tersebut melebar, dengan demikian lebih banyak darah yang mengalir
kedalam mikro sirkulasi lokal.Kapiler-kapiler yang sebelumnya kosong atau
sebagian saja meregang, dengan cepat penuh terisi darah.Keadaan ini yang
dinamakan hiperemia atau kongesti.
d.
Tumor
(pembengkakan)
Pembengkakan ditimbulkan oleh karena pengiriman cairan
dan sel-sel dari sirkulasi darah kejaringan interstisial.Campuran cairan dan
sel yang tertimbun di daerah peradangan disebut eksudat.
e.
Functiolaesa
Adanya perubahan fungsi secara superficial bagian yang
bengkak dan sakit disrtai sirkulasi dan lingkungan kimiawi lokal yang abnormal,
sehingga organ tersebut terganggu dalam menjalankan fungsinya secara
normal.(Yudhityarasati, 2007).
F.
Faktor Faktor Yang Mempengaruhi Infeksi Luka Operasi
1.
Lamanya waktu tunggu pre operasi di rumah sakit
Menurut Haley dalam Iwan 2008 mengatakan bahwa bertambah lama perawatan
sebelum operasi akan meningkatkan resiko terjadinya infeksi nosokomial dimana
perawatan lebih dari 7 hari pre operasi akan meningkatkan kejadian infeksi
pasca bedah dan kejadian tertinggi didapat pada lama perawatan 7 - 13 hari
(dikutip oleh Hadibrata, 1989 : 17).
Hasil penelitian infection rate kira-kira 2 kali lebih besar setelah
dirawat 2 minggu dan 3 kali lebih besar setelah dirawat selama 3 minggu
dibandingkan bila dirawat 1-3 hari sebelum operasi.
Lamanyaoperasi mempengaruhi resiko terkena infeksinosokomial, semakin lama
waktu operasi semakin tinggi resiko terjadinya infeksi nosokomial.
Menurut Iwan 2008, lingkungan rumah sakit adalah reservoir mikroorganisme
dan merupakan salah satu sumber infeksi.Resiko peningkatan infeksi terjadi pada
waktu perawatan yangpanjang. Hasil penelitian infection rate
kira-kira 2 kali lebih besar setelah dirawat 2 minggu dan 3 kali lebih besar
setelah dirawat 3 minggu dibandingkan dirawat 1-3 hari sebelum operasi. Menurut
Cruse dan Foord terdapat hubungan antara lama hospitalisasi sebelum operasi
dengan insiden infeksi luka operasi. Angka infeksi mencapai 1,2 % pada klien
yang dirawat 1 hari, 2,1 % pada klien yang dirawat 1 minggu, dan 3,4 % pada
klien yang dirawat 2 minggu (Malangoni, 1997 : 142).
2. Teknik Septik Antiseptic
Menurut Iwan 2008, transmisi penyakit melalui tangan dapat diminimalisasi
dengan menjaga higiene dari tangan. Selain itu, penggunaan sarung tangan sangat
dianjurkan bila akan melakukan tindakan atau pemeriksaan pada pasien dengan
penyakit-penyakit infeksi. Hal yang perlu diingat adalah memakai sarung tangan
ketika melakukan tindakan dan mengambil atau menyentuh darah, cairan tubuh,
atau keringat, tinja, urin, membran mukosa dan bahan yang kita anggap telah
terkontaminasi, dan segera mencuci tangan setelah melepas sarung tangan.
Baju khusus juga harus dipakai untuk melindungi kulit dan pakaian selama
kita melakukan suatu tindakan untuk mencegah percikan darah, cairan tubuh, urin
dan feses.
Menurut Rondhianto 2008, terdapat prinsip umum teknik aseptik ruang operasi
yaitu :
a.
Prinsip asepsis
ruangan
Antisepsis dan asepsis adalah suatu usaha agar
dicapainya keadaan yang memungkinkan terdapatnya kuman-kuman pathogen dapat
dikurangi atau ditiadakan, baik secara kimiawi, mekanis atau tindakan fisik.
Termasuk dalam cakupan tindakan antisepsis adalah selain alat-alat bedah,
seluruh sarana kamar operasi, semua implan, alat-alat yang dipakai personel
operasi (sandal, celana, baju, masker, topi dan lain-lainnya) dan juga cara membersihkan/melakukan
desinfeksi kulit.
b.
Prinsip asepsis
personel
Teknik persiapan personel sebelum operasi meliputi 3 tahap, yaitu :
Scrubbing (cuci tangan steril), Gowning (teknik peggunaan gaun operasi), dan
Gloving (teknik pemakaian sarung tangan steril), hal ini diperlukan untuk
menghindarkan bahaya infeksi yang muncul akibat kontaminasi selama prosedur
pembedahan (infeksi nosokomial).
Di samping sebagai cara pencegahan terhadap infeksi
nosokomial, teknik-teknik tersebut juga digunakan untuk memberikan perlindungan
bagi tenaga kesehatan terhadap bahaya yang didapatkan akibat prosedur tindakan
yang di lakukan.
c.
Prinsip asepsis
pasien
Pasien yang akan menjalani pembedahan harus
diasepsiskan. Maksudnya adalah dengan melakukan berbagai macam prosedur yang
digunakan untuk membuat medan operasi steril. Prosedur-prosedur itu antara lain
adalah kebersihan pasien, desinfeksi lapangan operasi dan tindakan draping.
d.
Prinsip asepsis
instrument
Instrumen bedah yang digunakan untuk pembedahan pasien
harus benar-benar berada dalam keadaan steril.
3. Ventilasi ruang
Operasi
Untuk mencegah kontaminasi udara pada kamar operasi, direkomendasikan
ventilasi mekanik.System AC diatur 20-24 per jam.
Dengan desain yang benar dan kontrol yang baik dari pergerakan staff maka
kontaminasi udara dapat ditekan dibawah 100 cfu/m3 selama operasi jika
ditemukan kebersihan udara.
4.
Umur
Menurut Purwandari 2006, bayi mempunyai pertahanan yang lemah terhadap
infeksi, lahir mempunyai antibody dari ibu, sedangkan sistem imunnya masih
imatur.Dewasa awal sistem imun telah memberikan pertahanan pada bakteri yang
menginvasi. Pada usia lanjut, karena fungsi dan organ tubuh mengalami
penurunan, system imun juga mengalami perubahan. Peningkatan infeksi nosokomial
juga sesuai dengan umur dimana pada usia 65 tahun kejadian infeksi tiga kali
lebih sering daripada usia muda.
Anak dan dewasa penyembuhannya lebih cepat daripada orang tua. Orang tua
lebih sering terkena penyakit kronis, penurunan fungsi hati dapat mengganggu
sintesis dari faktor pembekuan darah (Yusuf , 2009).
5. Nutrisi dan
Berat Badan
Menurut Williams & Barbul, 2003 dalam Dealay 2005
bahwa ada hubungan yang bermakna antara penyembuhan luka operasi dengan status
nutrisi.
Sedangkan menurut Rondhianto 2008, Kebutuhan nutrisi
ditentukan dengan mengukur tinggi badan dan berat badan, lipat kulit trisep,
lingkar lengan atas, kadar protein darah (albumin dan globulin) dan
keseimbangan nitrogen. Kondisi gizi buruk dapat mengakibatkan pasien mengalami
berbagai komplikasi pasca operasi dan mengakibatkan pasien menjadi lebih lama
dirawat di rumah sakit.Komplikasi yang paling sering terjadi adalah infeksi
pasca operasi, dehisiensi, demam dan penyembuhan luka yang lama.Pada kondisi
yang serius pasien dapat mengalami sepsis yang bisa mengakibatkan
kematian.Penyembuhan luka secara normal memerlukan nutrisi yang tepat. Proses
fisiologi penyembuhan luka bergantung pada tersedianya protein, vitamin
(terutama vitamin A dan C) dan mineral renik zink dan tembaga. Kolagen adalah
protein yang terbentuk dari asam amino yang diperoleh fibroblas dari protein
yang dimakan.Vitamin C dibutuhkan untuk mensintasi kolagen.Vitamin A dapat
mengurangi efek negatif steroid pada penyembuhan luka.Elemen renik zink
diperlukan untuk pembentukan epitel, sintesis kolagen (zink) dan menyatukan
serat-serat kolagen (tembaga) (Potter, 2006).
Terapi nutrisi sangat penting untuk klien yang lemah
akibat penyakit.Klien yang telah menjalani operasi dan diberikan nutrisi yang
baik masih tepat membutuhkan sedikitnya 1500 Kkal/hari.Pemberian makan
alternatif seperti melalui enteral dan parenteral dilakukan pada klien yang
tersedia mampu mempertahankan asupan makanan secara normal (Potter, 2006).
6. Penyakit
Menurut Perry & Potter 2005, pada pasien dengan
diabetes mellitus terjadi hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan
peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal
tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh yang berakibat rentan
terhadap infeksi.
Hambatan terhadap sekresi insulin akan mengakibatkan
peningkatan gula darah, nutrisi tidak dapat masuk ke dalam sel. Akibat hal
tersebut juga akan terjadi penurunan protein-kalori tubuh (Yusuf , 2009).
Menurut Nawasasi 2008, Pasien dengan operasi usus,
jika ia juga memiliki penyakit lain seperti TBC, DM , malnutrisi dan lain-lain
maka penyakit-penyakit tersebut tentu saja amat sangat berpengaruh terhadap
daya tahan tubuh sehingga akan mengganggu proses penyembuhan luka operasi.
Iwan 2008, menyampaikan bahwa Faktor daya tahan tubuh
yang menurun dapat menimbulkan resiko terkena infeksi nosokomial. Pasien dengan
gangguan penurunan daya tahan: immunologik. Usia muda dan usia tua berhubungan
dengan penurunan resistensi tubuh terhadap infeksi.
7. Obat-obat
yang digunakan
Menurut Iwan 2008, di dalam tubuh manusia, selain ada
bakteri yang patogen oportunis, ada pula bakteri yang secara mutualistik yang
ikut membantu dalam proses fisiologis tubuh. Pengetahuan tentang mekanisme
ketahanan tubuh orang sehat yang dapat mengendalikan jasad renik oportunis
perlu diidentifikasi secara tuntas.Dengan demikian bahaya infeksi dengan
bakteri oportunis pada penderita penyakit berat dapat diatasi tanpa harus
menggunakan antibiotika.
Menurut Iwan 2008, Pencegahan infeksi pasca bedah pada
klien dengan operasi bersih terkontaminasi dan beberapa operasi bersih dengan
penggunaan antimikroba profilaksis diakui sebagai prinsip bedah.Pada pasien
dengan operasi terkontaminasi dan operasi kotor, profilaksis bukan satu-satunya
pertimbangan.Penggunaan antimikroba di kamar operasi, bertujuan mengontrol
penyebaran infeksi pada saat pembedahan.Pada pasien dengan operasi bersih
terkontaminasi, tujuan profilaksis untuk mengurangi jumlah bakteri yang ada
pada jaringan mukosa yang mungkin muncul pada daerah operasi.
Tujuan terapi antibiotik profilaksis untuk mencegah
perkembangan infeksi dengan menghambat mikroorganisme. CDC merekomendasikan
parenteral antibiotik profilaksis seharusnya dimulai dalam 2 jam sebelum
operasi untuk menghasilkan efek terapi selama operasi dan tidak diberikan lebih
dari 48 jam. Pada luka operasi bersih dan bersih terkontaminasi tidak diberikan
dosis tambahan post operasi karena dapat menimbulkan resistensi bakteri
terhadap antibiotik .Bernard dan Cole, Polk Lopez-Mayor membuktikan keefektifan
antibiotik profilaksis sebelum operasi dalam pencegahan infeksi post operasi
efektif bersih terkontaminasi dan antibiotik yang diberikan setelah operasi
tidak mempunyai efek profilaksis (Bennet, J.V, Brachman, P, 1992 : 688).
(Yudhityarasati, 2007).
Obat anti inflamasi (seperti steroid dan aspirin),
heparin dan anti neoplasmik mempengaruhi penyembuhan luka.
Penggunaan antibiotik yang lama dapat membuat
seseorang rentan terhadap infeksi luka.
Steroid : akan menurunkan mekanisme peradangan normal
tubuh terhadap cedera.
Antikoagulan : mengakibatkan perdarahan
Antibiotik : efektif diberikan segera sebelum
pembedahan untuk bakteri penyebab kontaminasi yang spesifik. Jika diberikan
setelah luka pembedahan tertutup, tidak akan efektif akibat koagulasi
intravaskular. (Yusuf , 2009).
8.
Sirkulasi (hipovolemia) dan oksigenasi
Kondisi fisik dapat mempengaruhi penyembuhan
luka.Adanya sejumlah besar lemak subkutan dan jaringan lemak (yang memiliki
sedikit pembuluh darah).
Pada orang-orang yang gemuk penyembuhan luka lambat
karena jaringan lemak lebih sulit menyatu, lebih mudah infeksi, dan lama untuk
sembuh.Aliran darah dapat terganggu pada orang dewasa dan pada orang yang
menderita gangguan pembuluh darah perifer, hipertensi atau diabetes
millitus.Oksigenasi jaringan menurun pada orang yang menderita anemia atau
gangguan pernapasan kronik pada perokok.
Kurangnya volume darah akan mengakibatkan
vasokonstriksi dan menurunnya ketersediaan oksigen dan nutrisi untuk
penyembuhan luka (Yusuf , 2009).
9. Hematoma
Hematoma merupakan bekuan darah.Seringkali darah pada
luka secara bertahap diabsorbsi oleh tubuh masuk kedalam sirkulasi. Tetapi jika
terdapat bekuan yang besar, hal tersebut memerlukan waktu untuk dapat
diabsorbsi tubuh, sehingga menghambat proses penyembuhan luka (Yusuf , 2009).
10. Iskemia
Iskemia merupakan suatu keadaan dimana terdapat
penurunan suplai darah pada bagian tubuh akibat dari obstruksi dari aliran
darah.Hal ini dapat terjadi akibat dari balutan pada luka terlalu ketat.Dapat
juga terjadi akibat faktor internal yaitu adanya obstruksi pada pembuluh darah
itu sendiri (Yusuf, 2009).
11. Keadaan
luka
Keadaan khusus dari luka mempengaruhi kecepatan dan
efektifitas penyembuhan luka.Beberapa luka dapat gagal untuk menyatu.
1. Pengertian
Infeksi Luka Operasi
Infeksi Luka Operasi (ILO) atau Infeksi Tempat Pembedahan
(ITP)/ Surgical Site Infection (SSI) adalah infeksi pada luka operasi atau
organ/ruang yang terjadi dalam 30 hari paska operasi atau dalam kurun 1 tahun
apabila terdapat implant. Sumber bakteri pada ILO dapat berasal dari pasien,
dokter dan tim, lingkungan, dan termasuk juga instrumentasi (Hidayat NN, 2009).
2. Klasifikasi
Klasifikasi SSI menurut The National Nosocomial
Surveillence Infection (NNIS) terbagi menjadi dua jenis yaitu insisional dibagi
menjadi superficial incision SSI yang melibatkan kulit dan subkutan dan yang
melibatkan jaringan yang lebih dalam yaitu, deep incisional SSI.
Lebih jauh, menurut NNSI, kriteria untuk menentukan
jenis SSI adalah sebagai berikut :
a.
Superficial
Incision SSI (ITP Superfisial)
Merupakan infeksi yang terjadi pada kurun waktu 30
hari paska operasi dan infeksi tersebut hanya melibatkan kulit dan jaringan
subkutan pada tempat insisi dengan setidaknya ditemukan salah satu tanda
sebagai berikut :
1)
Terdapat cairan
purulen.
2)
Ditemukan kuman
dari cairan atau tanda dari jaringan superfisial.
3)
Terdapat minimal
satu dari tanda-tanda inflammasi
4)
Dinyatakan oleh
ahli bedah atau dokter yang merawat.
b.
Deep Insicional
SSI ( ITP Dalam )
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30
hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun
jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan
operasi dan melibatkan jaringan yang lebih dalam (contoh, jaringan otot atau
fasia ) pada tempat insisi dengan setidaknya terdapat salah satu tanda :
1)
Keluar cairan
purulen dari tempat insisi.
2)
Dehidensi dari
fasia atau dibebaskan oleh ahli bedah karena ada tanda inflammasi.
3)
Ditemukannya
adanya abses pada reoperasi, PA atau radiologis.
4)
Dinyatakan
infeksi oleh ahli bedah atau dokter yang merawat
c.
Organ/ Space SSI
( ITP organ dalam)
Merupakan infeksi yang terjadi dalam kurun waktu 30
hari paska operasi jika tidak menggunakan implan atau dalam kurun waktu 1 tahun
jika terdapat implan dan infeksi tersebut memang tampak berhubungan dengan
operasi dan melibatkan suatu bagian anotomi tertentu (contoh, organ atau ruang)
pada tempat insisi yang dibuka atau dimanipulasi pada saat operasi dengan
setidaknya terdapat salah satu tanda :
1)
Keluar cairan
purulen dari drain organ dalam.
2)
Didapat isolasi
bakteri dari organ dalam.
3)
Ditemukan abses.
4)
Dinyatakan
infeksi oleh ahli bedah atau dokter.
Pencegahan ILO harus dilakukan, karena jika tidak,
akan mengakibakan semakin lamanya rawat inap, peningkatan biaya pengobatan,
terdapat resiko kecacatan dan kematian, dan dapat mengakibatkan tuntutan
pasien. Pencegahan itu sendiri harus dilakukan oleh pasien, dokter dan timnya,
perawat kamar operasi, perawat ruangan, dan oleh nosocomial infection control
team.
d.
Prinsip
pencegahan ILO adalah dengan :
1)
Mengurangi
resiko infeksi dari pasien.
2)
Mencegah
transmisi mikroorganisme dari petugas, lingkungan, instrument dan pasien itu
sendiri.
3)
Kedua hal di
atas dapat dilakukan pada tahap pra operatif, intra operatif, ataupun pasca operatif. Berdasarkan karakteristik pasien, resiko ILO dapat diturunkan
terutama pada operasi terencana dengan cara memperhatikan karakteristik umur,
adanya diabetes, kebiasaan merokok, obsesitas, adanya infeksi pada bagian tubuh
yang lain, adanya kolonisasi bakteri, penurunan daya tahan tubuh, dan lamanya
prosedur operasi.
BAB III
KERANGKA KONSEP DAN METODOLOGI PENELITIAN
- Kerangka Konsep
Klien lansia terutama berisiko mengalami infeksi luka pasca
operatif, sehingga perawat preoperative menurunkan risiko ini dengan cara memberi
lingkungan yang aman dan asuhan keperawatan yang komprehensif (Potter, 2006)
Komplikasi dan penyembuhan luka timbul dalam manifestasi
yang berbeda-beda. Komplikasi yang luas timbul dari pembersihan luka yang tidak
adekuat, keterlambatan pembentukan jaringan granulasi, tidak adanya reepitalisasi dan juga akibat komplikasi post
operatif dan adanya infeksi.
Beberapa komplikasi yang mungkin terjadi adalah :
hematoma, nekrosis jaringan lunak, dehiscence,
keloids, formasi hipertropik scar dan juga infeksi luka (InETNA,2004:6).
Infeksi nosokomial banyak terjadi di seluruh dunia
dengan kejadian terbanyak di negara miskin dan negara
yang sedang berkembang karena penyakit-penyakit infeksi masih menjadi penyebab utama.
Suatu
penelitian yang dilakukanoleh WHO menunjukkan bahwa sekitar 8.7% dari 55
rumahsakitdari 14 negara di Eropa, Timur tengah, dan Asia Tenggara dan Pasifik terdapat
infeksi nosokomial dengan Asia Tenggara sebanyak 10% (Utama, 2006).
Di
Indonesia, penelitian yang dilakukan Suwarni. A (1999) di semua rumah sakit di
Yogyakarta tahun 1999 menunjukkan bahwa proporsi kejadian infeksi nosokomial berkisar
0%-12% dengan rata-rata keseluruhan 4.26%. Untuk rata-rata lama perawatan
4.3-11.2 hari, dengan rata-rata 6.7 hari. Setelah diteliti lebih lanjut ternyata
didapatkan angka kuman lantai ruang perawatan mempunyai hubungan yang bermakna dengan
kejadian infeksi nosokomial (Utama, 2006).
Green L. dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan tentang
tiga faktor yang mempengaruhi dan membentuk perilaku seseorang. Faktor pertama
yaitu faktor predisposisi (predisposising
factor) yang terwujud dalam pengetahuan, sikap, perilaku, kepercayaan,
nilai-nilai dan sebagainya. Faktor kedua adalah faktor pendukung (enabling factor) yang meliputi
ketersediaan fasilitas atau sarana dan prasarana kesehatan. Sedangkan faktor
ketiga yaitu faktor pendorong (reinforcing
factor) yang meliputi perilaku dan sikap petugas kesehatan, informasi
kesehatan dan lain-lain.
Mengacu pada teori Green L. maka dapat dikembangkan
kerangka konsep tentang hubungan upaya pencegahan infeksi di tingkat keluarga dengan
kejadian infeksi setelah post operasi
sebagai berikut:
Bagan 3.1 Kerangka Konsep Penelitian
Gambaran
Pengetahuan dan
Sikap Keluarga Tentang
Bahaya Infeksi pada Perawatan Luka Post Operasi
|
|||||
|
|||||
Variabel yang
diteliti
- Definisi Operasional
Tabel 3.1 Definisi Operasional Pengetahuan dan Sikap Keluarga
Tentang Bahaya Infeksi pada Perawatan
Luka Post Operasi
Variabel
|
Definisi operasional
|
Alat Ukur
|
Hasil ukur
|
Skala
|
1.
Pengetahuan Keluarga Tentang
Bahaya Infeksi pada Perawatan Luka Post Operasi
2.
Sikap Keluarga Tentang Bahaya
Infeksi pada Perawatan Luka Post Operasi
|
Segala sesuatu yang
diketahui keluarga
tentang pengertian,
tujuan dan manfaat
perawatan luka dan
bahaya Infeksi:
·
Perawatan Luka
-
Mengetahui pengertian perawatan luka
-
Mengetahui tujuan mengganti balutan luka
-
Mengetahui tujuan menjaga blutan tetap kering
-
Mengetahui manfaat perawatan luka
-
Mengetahui manfaat mengganti balutan luka
-
Mengetahui manfaat menjaga balutan agar teap kering
-
Tahu cara m engganti balutan luka
-
Tahu menjaga balutan supaya tetap kering
-
Tahu cara menutupi daerah luka
·
Bahaya Infeksi
-
Mengetahui Pengertian infeksi
-
Mengetahui tujuan menjaga balutan supaya tetap kering
-
Mengetahui tujuan bahwabalutan
jangan terlalu sering di sentuh
-
Mengetahui tujuan mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh balutan
-
Mengetahui manfaat mencaga balutan supaya tetap bersih
-
Mengetahui manfaat bahwa balutan tidak terlalu sering di sentuh
-
Mengetahui manfaat mencuci tanga sebelum dn sesudah menyentuh balutan
luka
-
Tahu cara menjaga balutan tetap
bersih
-
Mengetahui bahwa balutan tidak terlalu sering di sentuh
-
Tahu cara mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh balutan
Respon tertutup
terhadap stimulus atau
obyek tertentu yang
sudah melibatkan
factor pendapat dan
emosi yang
bersangkutan meliputi tindakan keluarga :
·
Perawatan Luka
-
Mengganti balutan luka
-
Menjaga balutan tetap kering
-
Menutupi daerah luka
·
Bahaya Infeksi
-
Menjaga balutan supaya tetap bersih
-
Menjaga balutan jangan terlalu sering di sentuh
-
Mencuci tangan sebelum dan sesudah menyentuh balutan
|
Kuesioner
Kuesioner
|
1. Baik : 76 –
100%
2. Cukup : 56 – 75
%
3. Kurang : 40 – 55
%
1. Baik : 76 –
100%
2. Cukup : 56 – 75
%
3. Kurang : 40 – 55
%
|
Ordinal
Ordinal
|
(Sumber : Arikunto, 2006)
C.
Metode Penelitian
1. Rancangan Penelitian/ Desain Penelitaian
Jenis penelitian yang digunakan adalah diskriptif yaitu
suatu metode penelitian yang di lakukan dengan tujuan utama untuk membuat
gambaran atau deskripsi tentang suatu keadaan secara objektif.
2. Variabel
Variabel
adalah hal yang menjadikan objek penelitian yang ditetapkan dalam penelitian,
yang menunjukan variasi baik kuantitatif maupun kualitatif (Arikunto, 1998). Variabel yang digunakan adalah pengetahuan dan
sikap keluarga tentang bahaya Infeksi.
D. Populasi
dan Sampel Penelitian
1.
Populasi
Populasi adalah keseluruhan objek penelitian atau objek
yang diteliti (Notoatmodjo, 2002). Populasi dalam penelitian atau objek yang di
teliti di ruang bedah RSUD Subang Tahun
2012
2. Sampel
Sampel adalah
sebagian yang diambil dari keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap
mewakili seluruh populasi (Notoatmodjo, 2002) Karena populasi kecil (kurang
dari 10.000).
Teknik pengambilan sampel yang digunakan dengan cara accidental sampling yaitu didasarkan pada pertimbangan
tertentu yang di buat oleh penelitian sendiri, berdasarkan ciri atau sifat –
sifat populasi yang sudah di ketahui sebelumnya (Nursalam, 2005)
Peneliti perlu meneliti secara langsung sikap keluarga
ketika pelaksanaan proses perawatan. Didasarkan dari pertimbangan dan
didasarkan sifat – sifat populasi yang sudah ada sebelumya tersebut. peneliti
mengambil teknik penelitian dengan cara non random yaitu dengan cara accidental sampling .
- Pengumpulan Data
1.
Teknik
Pengumpulan Data
Pengumpulan data dalam penelitian ini
diperoleh dengan cara, sebagai berikut:
a.
Data Primer
Pengumpulan data dilakukan dengan cara
wawancara dengan menggunakan kuesioner, Dimana pada kuesioner peneliti
mengumpulkan data secara formal kepada responden untuk menjawab secara lisan
melalui wawancara. Yang mengisi
kuesioner itu adalah peneliti berdasarkan jawaban lisan dari responden, yang
mana daftar pertanyaan tersebut sudah disusun sebelum wawancara dan ditanyakan
secara urut.
Sebelumnya peneliti membuat inform concent (persetujuan) terlebih
dulu kepada responden bahwa responden bersedia akan dilakukan penelitian
setelah responden setuju baru peneliti membagikan kuisioner tersebut yang
berisi daftar pertanyaan yang diajukan secara tertulis.
b.
Data Sekunder
Untuk memperoleh data yang relevan maka
peneliti memperoleh dengan cara peneliti terlebih dahulu meminta surat
pengantar dari institusi, setalah mendapat persetujuan, peneliti mulai
melakukan pengumpulan data. Pengumpulan data dilakukan oleh peneliti sendiri
sebagai interviewer (pewawancara).
2.
Instrument
Penelitian
Alat pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan instrumen
penelitian berupa kuesioner. Kuesioner adalah daftar pertanyaan yang sudah
tersusun dengan baik, sudah matang, dimana responden tinggal memberikan jawaban
atau dengan memberikan tanda-tanda tertentu (Notoatmodjo, 2005).
Dalam penelitian
ini peneliti membuat kuesioner mengenai pengetahuan keluarga tentang perawatan luka dan sikap keluarga terhadap
perawatan luka. Termasuk kuesioner mengenai pengetahuan keluarga bahaya infeksi dan sikap keluarga terhadap bahaya infeksi
- Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan dilakukan pengolahan data dengan
tahapan sebagai berikut:
1.
Editing
Dilakukan setelah semua data terkumpul melalui kuesioner.
Langkah ini dimaksudkan untuk melakukan pengecekan kelengkapan data,
kesinambunagn data dan keseragaman data.
2.
Coding
Untuk memudahkan memasukan data dan pengolahan data
pertanyaan yang telah diajukan diberi kode.
3.
Entry Data
Setelah semua data diberi kode, maka data tersebut
dimasukan kedalam komputer dengan menggunakan komputer.
4.
Tabulasi
Dilakukan dengan mengelompokan data sesuai dengan
variabel yang akan diteliti, guna memudahkan dalam analisis.
- Analisa Data
Analisis data dilakukan dengan menggunakan komputer
dengan menggunakan analisis univariat, yaitu analisis persentase dengan tujuan
untuk melihat gambaran distribusi, frekuensi dan persentase dari variabel yang
diteliti dalam menyajikan analisis univariat ini berbentuk tabel distribusi
frekuensi gambaran pengetahuan dan sikap keluarga tentang bahaya infeksi pada luka post operasi diruang
dahlia rumah sakit umum kabupaten subang
Analisis Data dilakukan sesuai dengan tujuan penelitian.
Penelitian ini bertujuan untuk memberikan gambaran/Diskriptif cukup menyajikan
tabel distribusi.Memindahkan data dari data kuesioner ke dalam table,
selanjutnya diadakan presentasi tersebut dengan membagi frekuensi setiap
alternatif jawaban dengan jumlah responen kemudian dikalikan 100% atau dengan
rumus :
P = Prosentase
F = Jumlah jawaban yang benar
N = Jumlah soal
(Arikunto, 2006)
Kemudian data penelitian tersebut di interprestasikan
dengan menggunakan kriteria kualitas.
Baik : 76 – 100 %
Cukup : 56 – 75 %
Kurang : 40 – 55% (Arikunto, 2006)
- Etika Penelitian
Peneliti menjamin hak-hak responden dengan cara menjamin
kerahasian identitas responden, selain itu peneliti memberikan hak kepada
responden untuk menolak dijadikan responden penelitian serta adanya penjelasan
tujuan dan manfaat penelitian, setelah penjelasan tujuan dan manfaat penelitian
kemudian dilakukan penendatanganan persetujuan untuk menjadi
responden (informed consen).
DAFTAR PUSTAKA
Aidia MJ , 2011. Kumpulan Bahan Kuliah. (Online), (http://kuliahitukeren.blogspot.com/2011/10/konsep-luka-dan-perawatan luka.html/diakses tanggal, 23-04-2012, jam
2:41 WIB)
Almatsier, Sunita.
2005. Penuntun Diet. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Arikunto, S. 2008.
Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktek. Rineka Cipta: Yogyakarta
Ensiklopedia, 2010.
Bedah Sesar. (Online), (http://www.wikipedia.ensiklopedia.com/2010/09/01/bedah- sesar.html/diakses
tanggal, 20-09-2010, jam 03.58 WIB)
Hidayat Alimul Aziz,
2007. Metode Penelitian Keperawatan dan Teknik Analisa Data. Salemba Medika: Jakarta
Indonesia
Enterostomal Therapy Nurse Association (InETNA) & Tim Perawatan Luka dan Stoma Rumah Sakit Dharmais. 2004,Perawatan Luka, Makalah Mandiri, Jakarta
Iqbal, 2010. Sectio
Sesarea II. (Online), (http://www.Iqbalbaldctr2002.co.cc/2010/04/17/serctio-sesarea-II.html/diakses tanggal, 01-10-2010, jam 17.00 WIB)
Mansjoer.Arif,
dkk. Eds.2000.Kapita Selekta Kedokteran.
Edisi III. Media Aesculapius FKUI :
Jakarta
Mochtar, Rustam,
2005. Sinopsis Obstetri. EGC: Jakarta
Mubarak Wahit Iqbal,
SKM, 2005. Pengantar Keperawatan Komunitas: Penerbit CV Sagung Seto. (online), (http://id.shvoong.com/medicine-and- health/2135065-konsep-infeksi/#ixzz1qUcio5Eo/diakses
tanggal, 29-04- 2012,
jam 16.03 WIB)
Notoatmodjo Soekidjo,
2005. Metodologi Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta: Jakarta
Nunung, 2009. Seputar
Sectio saesar. (Online), (http://www.nunung.himapid.blogspot.com/2009/08/01/seputar-sectio- saesar.html/diakses
tanggal, 24-10-2010, jam 17.58 WIB)
Nursalam, 2008.
Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Keperawatan. Salemba Medika: Jakarta
Potter, 2006.
Fundamental Keperawatan. EGC: Jakarta
Pratiknya, 2007.
Dasar-dasar Metodologi Penelitian Kedokteran dan Kesehatan. PT. Raja Grafindo Persada: Jakarta
Saifuddin, 2005.
Panduan Pencegahan Infeksi untuk Fasilitas Pelayanan Kesehatan denghan Sumber Daya Terbatas. Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo: Jakarta
Santoso, 2009.
Penyembuhan Luka. (Online), (http://www.Dr.Budhi.Santoso@ho.otsuka.co.id/2009/10/28/penyembuhan -luka.html/diakses tanggal, 30-10-2010, jam 15.40WIB)
Signaterdadie’s,
2009. Desinfektan. (Online), (http://www.signaterdadie’s.com/2009/10/04/desinfektan.html./diakses tanggal, 20-10-2010,
jam 19.30 WIB)
Sugiyono, 2009.
Statistika Untuk Penelitian. Alfebeta: Bandung
Suparyanto,dr. M.Kes , 2011. Konsep Infeksi Luka Operasi
(Online),
(http://dr-suparyanto.blogspot.com/2011/03/konsep-infeksi-luka- operasi.html/ diakses tanggal, 29-04-2012, jam 15.48 WIB)
Tjahyono Sigit A,
2009. Penyembuhan Bedah Caesar. (Online), (http://www.Dr.A.Sigit.Tjahyono,Sp.B,Sp.BTKV.detikhealth.com /2009/0
7/17/penyembuhan-bedah-saesar.html/diakses tanggal, 25-09-2010, jam 15.10 WIB)
Walton,Robert
L. 1990. Perawatan Luka dan Penderita
Perlukaan Ganda, Alih bahasa. Sonny
Samsudin, Cetakan I. EGC: Jakarta
Yusuf, 2009.
Penyembuhan Luka. (Online), (http://www.sinagayusuf.com/2009/04/19/penyembuhan- luka.html./diakses
tanggal, 20-10-2010, jam 19.00 WIB)